Kamis, 20 Maret 2014, di hari ke 22 perjalanan
“Ekspedisi 30 Hari Jelajah Celebes” saya akan memulai petualangan ke salah satu
"surga" di jantung Teluk Tomini, Kepulauan Togean. Dari banyak destinasi di
Kepulauan Togean, saya menetapkan pilihan ke pulau Kadidiri, salah satu
destinasi yang mudah dijangkau dari sekian banyak destinasi pulau di kepulauan
Togean.
Jam 10 pagi, perjalanan ke Pulau Kadidiri saya awali dari
hotel Victory di kota Ampana. Pagi hari saya sempatkan mencari informasi
tentang “Bodi” (kapal kayu penumpang) yang akan berangkat ke pelabuhan Wakai
yang katanya lebih cepat dan berangkat dari pelabuhan kota Ampana, dibandingkan
naik Fery yang memakan waktu sampai 5 jam dan harus naik dari pelabuhan Uebone
yang berjarak sekitar 15 kilometer dari pusat kota Ampana. Ternyata hari ini
saya kurang beruntung, tidak ada kapal Bodi yang berangkat ke Wakai dan saya
pun terpaksa harus mengejar jadwal keberangkatan Fery jam 10 pagi di Uebone.
Dermaga fery di Wakai
Jam 10.30 saya tiba di pelabuhan Uebone, sudah tampak
kesibukan di ujung dermaga, petugas, penumpang dan buruh angkut hilir mudik
mengatur dan mengangkut barang-barang ka atas fery. Sebuah mobil truk 10 roda
penuh muatan tampak sudah mengambil posisi di tengah-tengah kapal, sementara
sudut lain sudah disesaki dengan barang-barang penumpang.
Setelah membeli tiket seharga Rp.45.000,- saya pun bergegas naik ke fery dan mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan 5 jam pelayaran ke Wakai.
Setelah membeli tiket seharga Rp.45.000,- saya pun bergegas naik ke fery dan mencari tempat yang nyaman untuk menghabiskan 5 jam pelayaran ke Wakai.
Ombak pagi itu sangat bersahabat, hanya riak-riak kecil yang
seolah tersenyum manis mengantar pelayaran kami. Perlahan, fery KMP. Tuna
Tomini sudah beranjak membelah laut teluk Tomini yang tenang menuju ke arah
timur laut, ke pelabuhan Wakai.
Menuju ke Pulau Kadidiri
Pukul 14.30 fery KMP. Teluk Tomini mulai bersandar di
dermaga Wakai. Di sekitar dermaga dijejali dengan calon penumpang dan pengantar
atau penjemput penumpang, selebihnya diisi oleh warga yang menjajakan aneka
macam jualan. Saat ini, di sekitar Wakai sedang musim durian dan Wakai ini
dikenal sebagai salah satu penghasil durian di Sulawesi Tengah. Tidak heran, di
sepanjang dermaga dipenuhi dengan buah durian, ada yang sudah dikemas dalam
box-box kayu, sebagian masih diikat dan selebihnya masih dibiarkan berserakan.
Harganya sangat murah, untuk 1 ikat yang berisi 3 buah durian seukuran bola
takraw mereka lepas dengan harga Rp. 10.000, harga yang sangat murah
dibandingkan saat durian-durian tersebut sudah berada di tangan penjual di
kota-kota besar seperti Palu, Poso dan kota-kota lainnya di Sulawesi Tengah.
Di dermaga Wakai, saya mencari perahu yang disiapkan oleh
pengelola resort di Pulau Kadidiri. Mereka biasanya menunggu di sekitar
dermaga, menunggu tamu yang akan menuju ke resort mereka. Di Pulau Kadidiri
rencananya saya akan menginap di Pondok Lestari, sebuah resort milik warga
lokal dengan tarif murah dan biasanya menjadi pilihan bagi para backpacker.
Tarif yang dikenakan bagi pengunjung di Pondok Lestari relatif murah, harga tersebut sudah termasuk sarapan, makan siang dan makan
malam. Setelah mencari beberapa lama akhirnya saya bertemu dengan Pak Arman,
beliaulah yang akan mengantar saya ke Pulau Kadidiri, ke Pondok Lestari.
Pondok Lestari di Pulau Kadidiri
Bila cuaca sedang bersahabat, biasanya pelayaran dengan
katinting ke Pulau Kadidiri hanya ditempuh dalam 15 menit, tapi sore ini ombak
di teluk Tomini lumayan ganas dan akhirnya perjalanan kami memakan waktu sampai
40 menit. Sepuluh menit pertama pelayaran masih normal, ombak kecil seakan
menyapa dengan mesra, 20 menit berikut tampaklah kegarangan ombak teluk Tomini,
perahu katinting yang hanya berukuran panjang 7 meter ini pun diombang ambing
oleh ombak, beruntunglah Pak Arman sangat gesit mengendalikan katinting,
mengikuti alur ombak dan sesekali mematikan mesin agar katinting tidak
terhempas ombak besar. Pak Arman betul-betul lihai mengendalikan katinting ini,
tampak sekali kalau beliau sudah sangat berpengalaman mengarungi teluk Tomini.
Pukul 18.00 katinting merapat di ujung selatan pantai pulau
Kadidiri. Pantai pasir putih yang membentang hanya sekitar 400 meter ini diisi
oleh 3 resort, di ujung selatan ada Pondok Lestari, di tengah ada Black Marlin
Resort dan di ujung utara ada Kadidiri Paradise Resort.
Turun dari katinting, saya langsung memesan pondokan di
Lestari, tapi sayang semua pondok sudah penuh terisi. Untunglah di Gorontalo
kemarin saya bertemu dengan Adnan, salah satu staf Kadidiri Paradise yang
merekomendasikan Pondok Lestari untuk saya yang backpacker. Dari Adnan ini pula
saya mendapat nama Fuddin (anak pemilik Pondok Lestari) dan Mamat, mereka
adalah dive master di Kadidiri Paradise. Setelah tidak mendapatkan kamar di
Pondok Lestari saya pun mencari Fuddin, di dermaga Kadidiri Paradise kebetulan
Fuddin bersama Mamat dan beberapa tamu lain di Kadidiri Paradise sedang
membicarakan rencana diving. Setelah melewati perkenalan singkat, Fuddin pun
menawarkan sebuah kamar pegawai Pondok Lestari untuk saya, yaa meskipun
sederhana tapi cukuplah bagi saya, dari pada harus mengeluarkan budget 200
sampai 300 ribu di Kadidiri Paradise atau di Black Marlin. Di Kadidiri,
pengunjung dikenakan tarif per orang
bukan per kamar, jadi meskipun anda mengambil 1 kamar dan diisi oleh 2
orang maka yang anda bayar adalah untuk 2 orang.
Hans, Bule dari Jerman bersama pengunjung lain saat menuju ke Pulau Una-una
Malam pertama di kadidiri saya lewatkan dengan bergaul
bersama bule-bule yang sudah beberapa hari tinggal di Pondok Lestari. Suasana
bersahabat sangat kami rasakan di sini, mereka datang dari berbagai Negara,
Inggris, Australia, Rusia, Rumania, Italia, Belanda, Jerman dan Prancis. Ada
Hans, turis dari Jerman yang sudah 2 bulan tinggal di Pondok Lestari, pemilik Pondok
Lestari memberikan harga khusus buat Hans, karena selain tinggal lama Hans juga
menghabiskan waktu di Pondok Lestari dengan membantu pengelola, menyiapkan
makanan, mencuci piring, merapikan pondok dan juga berperan sebagai penghubung
antara pengelola dan bule-bule penyewa pondok Lestari. Hans cukup gesit, dia
juga lumayan fasih berbahasa Indonesia.
Snorkeling di sekitar Pulau Una-una
Di Pondok Lestari, selain 3 cottage harga 150 dan 6 cottage
harga 100, juga ada sebuah kantin berukuran sekitar 10 x 10 meter, di sinilah
para pengunjung sering berkumpul dengan pengunjung lain sekedar berkenalan atau
berbagi informasi.
Malam itu, laut sangat tenang, bulan setengah jadi
memantulkan cahanya di permukaan air. Tidak mau melewatkan suasana indah malam
itu, saya bergabung dengan Fuddin yang terlebih dahulu sudah berada di dermaga
Kadidiri resort. Fuddin bercerita sejarah dibukanya Pulau Kadidiri ini untuk
tujuan wisata. Tahun 1992, pemilik Black Marlin resortlah yang pertama membuka
resort ini dengan menyewa tanah milik Pak Akka yang waktu itu masih berupa
kebun kelapa. Tahun 1994, pemilik Kadidiri Paradise yang juga mengelola sebuah
resort di Ampana juga bermaksud membuka resort di samping Black Marlin
sekaligus mengajak Pak Akka untuk membuka cottage untuk pengunjung kelas medium
ke bawah. Karena terjadi konflik agama di Poso berimbas pada kunjungan
wisatawan ke Kadidiri sehingga tempat ini sempat tutup selama empat tahun, dan
kembali beroperasi sekitar tahun 2008 sampai sekarang.
Jembatan ini, pasti selalu membuat rindu
Kembali kami menikmati malam di dermaga Pulau Kadidiri,
dengan berbekal petikan gitar kami bernyanyi sambil sesekali berbaring menatap
bulan bintang, tenang, hanya ombak kecil, bintang, bulan dan suara lirih kami
bernyanyi..
(Bersambung)
[Ditulis di Pulau Kadidiri Kepulauan Togean, 20
Maret 2014, hari ke 22 dari Ekspedisi 30 Hari Jelajah Celebes]
No comments:
Post a Comment