Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Cerita dari Tanah Mandar (3)

Cerita dari Tanah Mandar (3)
Perjalanan 30 Hari Jelajah Celebes di Majene saya mulai dengan berkunjung ke Museum Mandar. Museum Mandar terletak di Jl. Raden Suradi No. 17 Kelurahan Pangali-ali, Kecamatan Banggae. Menurut informasi yang saya terima dari salah seorang staf, museum Mandar ini didirikan pada tanggal 2 Agustus 1984 melalui keputusan seminar kebudayaan Mandar. Museum Mandar adalah bekas Rumah Sakit Umum Majene, masih terlihat dari bentuk bangunan yang terbagi dalam berbagai macam ruangan serta dihubungkan oleh koridor, bahkan di salah satu ruang masih menggantung sebuah lampu operasi. Museum Mandar memiliki 1.304 buah koleksi, meliputi koleksi geologi, geografi, biologi, etnografi, arkeologi, sejarah, numismatic, heraldic, filologi, keramik, seni rupa serta teknologi.


Perjalanan saya lanjutkan menuju ke desa Pamboborang, hanya berjarak beberapa kilometer dari museum Mandar di pinggiran utara kota Majene. Memasuki kampung ini di siang hari maka kita akan mendapati suasana yang sangat lengang, tidak tampak aktifitas warga khususnya para pria di sekitar jalan raya. Kampung di desa Pamboborang ini tenang, hanya ada suara tempaan besi yang sesekali lamat-lamat terdengar. Bila kita jeli memperhatikan, hampir di tiap belakang rumah warga ada sebuah bangunan kecil tanpa dinding dengan asap tipis yang mengepul, di sanalah para laki-laki berkumpul untuk menempa lempengan-lempengan besi menjadi perkakas untuk dijual. Desa Pamboborang adalah sentra perajin pandai besi, dari sinilah hampir seluruh kebutuhan perkakas seperti pisau, parang, badik dan keris di Sulawesi Barat dan sekitarnya diproduksi. Terus terang baru kali ini saya tau ternyata di Sulawesi Barat ada pusat pengrajin pandai besi yang dikerjakan secara berkelompok dan hampir semua warga desa berprofesi sebagai pandai besi.


Abie, teman yang menemani saya ke desa Pamboborang memilih sebuah “workshop” di belakang rumah salah satu warga yang juga adalah pamannya. Di tempat ini saya banyak tau tentang proses pembuatan sebuah parang/pisau, dari sebuah lempengan baja yang biasanya diambil dari per mobil atau bahan-bahan baja lain yang kemudian dipotong-potong pipih dengan ukuran tertentu kemudian dibakar dan ditempa berulang-ulang sampai membentuk sesuatu yang diinginkan. Dan semua masih dikerjakan secara manual, tidak ada hitung-hitungan kertas apalagi computer di bengkel kerja ini, semua dikerjakan dengan insting yang terlatih turun temurun sejak bertahun-tahun sebelumnya. Satu-satunya alat bantu yang sudah mendapat sentuhan teknologi modern adalah “Busoang”, yaitu alat untuk menyuplai oksigen/udara ke dalam tungku bara. Di beberapa daerah pengrajin besi biasanya masih menggunakan pompa raksasa manual yang digerakkan oleh seorang pekerja, di Pamoborang alat tersebut sudah diganti dengan blower. Dengan menggunakan blower akan lebih praktis, suplai udara akan stabil serta tidak membutuhkan lagi pekerja khusus untuk menggerakkan Busoang. Di Pamboborang, kegiatan pandai besi dikerjakan secara berkelompok, satu kelompok biasanya terdiri dari beberapa keluarga yang masih ada hubungan keluarga. Satu kelompok dikepalai seorang Punggawa, biasanya adalah seorang kepala keluarga yang punya modal/saham dan memiliki skill yang lebih tinggi.


Hasil kerajinan besi di Pamboborang ini pada umumnya adalah parang dan pisau, lebih spesifik lagi adalah parang kebun yang bentuknya agak melebar di bagian ujung. Selain parang dan pisau diproduksi pula badik dan keris tapi dikerjakan bila ada pesanan.
Pukul 11 pagi saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kota Mamuju, destinasi-destinasi menarik di Kabupaten Majene katanya justru lebih banyak akan kita dapati di jalan trans Majene – Mamuju. Di titik kilometer 3, saya dan Abie berpisah, Abie harus melanjutkan aktifitasnya sebagai pengajar, sementara saya harus melanjutkan perjalanan ke daerah-daerah berikutnya. Setelah pamitan dan sedikit basa-basi saya pun melanjutkan perjalanan menuju ke kota Mamuju.
Benar saja, baru beberapa kilometer saya meninggalkan kota Majene saya sudah dimanjakan dengan pemandangan pantai dan laut yang indah, pasir putih serta airnya yang bening.
Baru sekitar satu jam perjalanan, saya tiba-tiba sadar bila perut keroncongan karena belum sempat sarapan “makanan berat” di Majene dan apesnya karena saya belum menarik uang di ATM. Sadar akan ”bahaya” yang mengancam, saya pun singgah untuk memastikan persediaan di dalam dompet, dan.. hanya selembar uang lima ribu dan selembar uang seribu yang masih terlipat rapi di dalam dompet, 6 ribu. Untungnya tak jauh dari tempat singgah tadi ada sebuah ATM bank BRI, Alhamdulillah saya selamat.. pikirku.
Tanpa pikir panjang saya langsung masuk dalam barisan antrian bapak/ibu yang akan bertransaksi di ATM, ada 4 orang di depanku. Dan sialnya (lagi), pas di antrian orang ke 4 di depan saya saldo ATM habis!!.. info dari petugas bank katanya di kota Mamuju lagi baru ada ATM, Mamuju? Lebih dari 80 kilometer.

Dengan langkah lunglai saya tinggalkan bilik ATM sambil berpikir bagaimana cara mendapatkan makan siang ini? Tidak ada keluarga, tidak ada teman bahkan tidak ada kenalan satu pun di kampung ini. Matahari yang sangat menyengat membuat perut semakin keroncongan, tapi apa boleh buat? Uang sisa 6 ribu dan itu pun untuk menambah persediaan BBM. Sambil terus berjalan saya berpikir bagaimana caranya untuk bisa makan gratis siang ini, sampai tiba di kampung Somba, daerah ini terkenal dengan warung ikan bakar spesialis ikan terbang atau “tuing-tuing”. Tampak asal mengepul dari warung-warung yang berjejer rapi di kiri kanan jalan menebar aroma ikan bakar yang semakin menambah selera makan. Saya hanya bisa menelan air liur yang menetes di sudut bibir ohh..
Tak jauh dari kawasan kuliner Somba laju motor saya pelankan, di depan tampak ada acara nikahan yang sangat ramai sampai harus menutup separuh badan jalan. Akal cerdikku mulai muncul, saya bisa makan enak di acara kawinan ini, tapi bagaimana caranya? Tidak satu pun orang di pesta nikahan ini yang saya kenal. Apakah harus pasang muka memelas? Atau berpura-pura sebagai sahabat dari sang mempelai? Yaa.. salah satu jalan untuk bisa makan enak di pesta tersebut adalah berpura-pura menjadi teman dari mempelai. Tapi jangankan tau namanya, pemilik hajatan ini laki-laki atau perempuan saja saya bahkan tidak tau.
Sesaat saya mengamati kesibukan orang-orang di baruga tempat pesta pernikahan tersebut, hanya berselang beberapa menit rombongan orang-orang berpakaian rapi mengiringi kedua mempelai keluar dari baruga dan langsung menuju ke mobil-mobil yang terparkir tidak jauh dari lokasi pesta pernikahan ini. Saya berkesimpulan bahwa ini adalah rumah si mempelai wanita, setelah nikah tadi maka rombongan pengantin laki-laki kembali ke rumah sambil membawa pengantin wanita. Dugaan saya betul, rombongan pun beriringan menuju ke arah selatan, berlawanan arah denganku.
Setelah rombongan berlalu dan suasana rumah pengantin wanita mulai sunyi saya pun memberanikan diri untuk masuk, tidak lupa saya merapikan pakaian dan menyimpan mini carrier di sebuah pos ronda yang tidak jauh dari rumah pengantin wanita. Masalahnya adalah saya tidak tau nama si pengantin perempuan…
Tapi saya tidak kehabisan akal, di depan gerbang baruga berdiri 3 orang ibu-ibu yang tadi melepas rombongan, saya menyapa mereka dengan memposisikan diri sebagai teman si pengantin wanita.
“Assalamu alaikum… tabe’ ini rumahnya…” ucapku pura-pura lupa nama, padahal memang tidak tau namanya, berharap salah seorang ibu menyebut nama si pengantin wanita.
Dan dugaanku betul, salah seorang ibu langsung menjawab “IKA..??”
“Iye, Ika… saya temannya dari Makassar, saya jalan-jalan di Majene dan kebetulan saya dengar kabar kalo Ika menikah jadi saya ke sini..” jawabku mantap.
Tanpa rasa curiga sedikit pun mereka mengajakku masuk ke baruga.
“Mariki nak.. tunggumi, nda lamaji itu, dekatji rumahnya itu pengantin laki-laki..” ibu yang lain mengajakku masuk. Semoga saja kedatangan Ika tidak secepat dugaanku, semoga Ika datang setelah saya selesai makan dan pergi dari rumah ini.
Selanjutnya, sajian menu khas pesta pernikahan memenuhi piringku, kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Lima macam menu makanan di dalam satu baki (nampan) saya habiskan dengan lahap. Di atas baki berbeda sudah tersedia kopi hitam panas lengkap dengan berbagai penganan tradisional khas Mandar, beruntungnya diriku, Tuhan selalu memberi jalan untuk orang-orang sepertiku..
Setelah menghabiskan dua paket makanan dari dua baki berbeda, saya pun memanfaatkan “kelengahan” para ibu-ibu yang sibuk beres-beres. Sambil merokok dan pura-pura cari angin segar, saya beranjak menuju keluar baruga, dengan satu lirikan untuk memastikan ibu-ibu tadi masih sibuk saya pun segera beranjak menuju pos ronda di mana motorku terparkir dengan santai. Jaket saya kenakan, carrier sudah di pundak, tak lupa kaca helm saya tutup, dan… saya melaju dengan perut kekenyangan, selamat lagi pikirku..
Ada sedikit rasa bersalah di benakku, tapi anggaplah ini sebuah usaha “halal” untuk mempertahankan hidup hehehe..


Sekitar setengah jam perjalanan saya pun tiba di jembatan Bolong, jembatan yang terkenal angker ini sementara direnovasi, dibangun ulang lebih tepatnya. Jembatan baru dan megah sementara dibangun untuk menggantikan jembatan Bolong yang kecil dan konon sering memakan korban. Dari posisinya memang sangat memungkinkan sering terjadi kecelakaan di jembatan kecil ini, sebelum sampai di jembatan kita akan melewati jalan dengan kondisi menurun dan tepat di ujung bawah langsung menikung tajam ke arah badan jembatan, belum lagi median jembatan yang sempit.
Bukit-bukit kecil menemani perjalanan menuju ke Mamuju, jurang di kiri kanan jalan membuat kita harus ekstra hati-hati, apalagi saat musim hujan yang membuat kondisi jalan sangat licin, sedikit salah perkiraan maka kita akan terjun bebas ke dalam jurang yang menganga. Pantaslah sering kita dengan candaan “MAMUJU = MAJU MUNDUR JURANG”.


Sekitar pukul 17.00 sore hari saya sudah tiba di kota Mamuju. Sekali lagi, tidak ada teman di sini, tidak ada tujuan pasti mau ke mana? Pantai Manakarra adalah tujuan satu-satunya, menikmati sore sambil menunggu sunset berlatar belakang pulau Karampuang di sebelah barat.

*Lanjut baca "Bumi Manakarra Mamuju"

[Ditulis di Mamuju, 3 Maret 2014, hari ke 5 dan 6 dari Ekspedisi 30 Hari Jelajah Celebes]

No comments:

Bottom Ad [Post Page]