Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Pantai Barat Sulawesi Barat

Pantai Barat Sulawesi Barat
Pagi-pagi buta setelah shalat subuh saya pun berangkat meninggalkan kota kecil Topoyo. Setelah menghabiskan malam di emperan warung berteman dingin dan deru kendaraan yang lalu lalang di trans Sulawesi, kini perjalanan terasa sangat luar biasa karena bisa menikmati sejuknya udara pagi di pegunungan dan kebun sawit.
Laju kendaraan sengaja saya perlambat agar bisa dengan leluasa menikmati udara pagi dan pemandangan ini. Anak sekolah dengan dandanan seadanya berjalan bergerombol menuju sekolah dengan raut muka penuh harapan.

Tak ada yang istimewah menurutku dengan kota kecil Topoyo. Kota kecil yang dahulunya adalah ibukota kecamatan dan sekitar delapan bulan lalu menjadi ibukota kabupaten baru Mamuju tengah, hasil dari pemekaran kabupaten Mamuju dan Mamuju utara. Delapan bulan tak cukup untuk membuat Topoyo menjadi tampak seperti ibukota kabupaten baru lainnya, derap langkahnya seolah tertahan.  
Perjalanan dari  Topoyo ke Pasangkayu akan saya tempuh dengan jarak sekitar 276 KM. Menurut warga di Topoyo jarak itu biasanya ditempuh kurang lebih 4 sampai 5 jam. Saya tidak yakin, untuk menikmati perjalanan berarti tidak harus dengan perjalanan cepat, belum lagi bila harus berhenti  untuk mengabadikan sebuah obyek. 

Di sepanjang perjalanan menuju ke Pasangkayu mata akan terus disajikan dengan pemandangan kebun kelapa sawit di kiri kanan jalan. Tampak pula kesibukan warga mengangkut hasil panen kelapa sawit, ada yang menggunakan motor, ada pula yang menggunakan gerobak dorong. Bonggol demi bonggol mereka kumpulkan di tepi jalan, sementara beberapa mobil truk sudah siap mengangkut buah sawit tersebut.
Dua kali saya hampir terjatuh karena melihat ular yang tiba-tiba melintas. Pertama ular sanca sebesar lengan orang dewasa, kemudian ular hitam entah jenis apa. Keduanya tiba-tiba saja muncul dari semak-semak di tepi kebun sawit. 

Tak banyak yang bisa saya ceritakan di perjalanan dari Topoyo ke Pasangkayu kecuali pemandangan selama perjalanan. Naik turun bukit, kiri kanan kebun sawit serta di beberapa titik banyak penjual durian. Tiba di Pasangkayu setelah menempuh 276 KM sekitar 1 siang, saya aneh dengan kota ini. Kesan pertama saat menginjakkan kaki di kota kecil ini adalah panas, gersang, jalannya lebar tapi tidak ada pohon pelindung. Saking panasnya, warga kota jarang melakukan aktifitas di luar ruangan, hanya beberapa kendaraan yang melintas di jalan trans Sulawesi.

Sama seperti Topoyo, tidak ada yang menarik perhatianku dari kota ini. Tidak ada teman, tidak ada kenalan dan tidak ada seseorang yang bisa saya ajak berdiskusi dan mencari tau. Semua seakan lebih betah berdiam diri di dalam rumah dari pada harus menantang panasnya kota.
Setelah makan siang di salah satu warung ikan bakar yang lumayan ramai, saya pun mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke Donggala, jaraknya sekitar 90 KM. Tepat di perbatasan kota, odo meter motor tepat menunjukkan 1000,1 KM, yup sudah seribu KM yang saya berkendara sejak start dari Gedung Miring Telkomsel Makassar hari Kamis tanggal 27 Februari.

Lepas dari kota Pasangkayu, di sekitar kampung Matrajaya suasananya membawa saya seakan berada di Bali. Pura berdiri kokoh hampir di seluruh pekarangan rumah warga. Matrajaya ini memang kawasan transmigrasi warga dari pulau Bali saat zaman pemerintahan presiden Suharto.  
Tiba di Salu Kaili saya melihat sebuah plank wisata pantai SALU KAILI, karena penasaran saya pun membelokkan motor menuju jalan yang ditunjuk plang tersebut. Hanya berjarak sekitar 50 meter sampailah saya di sebuah pantai pasir hitam. Tampak beberapa pondok yang menjual aneka makanan dan minuman bagi pengunjung. Saya menghabiskan sekitar setengah jam untuk mereguk kopi hitam sachet sekaligus mengupdate beberapa foto dan informasi via twitter.

Sekitar pukul 4 sore saya sudah memasuki kota Donggala, kota kecil di ujung barat teluk Palu, kota pelabuhan yang sejak dulu merupakan salah satu pelabuhan paling sibuk di Indonesia. Bagi anda yang masih asing dengan kota Donggala mungkin pernah membaca buku atau menonton film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka, seorang ulama dan budayawan tersohor di jamannya. Di buku tersebut nama Donggala disebut sebagai persinggahan para pelaut Nusantara dan Mancanegara. Kota Donggala pernah menjadi pusat pemerintahan colonial Belanda pada abad ke-18 dan menjadikan pelabuhan Donggala sebagai pelabuhan niaga dan penumpang. Sisa-sisa peninggalan kejayaan pelabuhan Donggala masih bisa kita saksikan di kawasan Pasar Tua. Banyak bangunan-bangunan tua yang masih dipertahankan keberadaannya. Beberapa memang sudah direnovasi oleh si pemilik bangunan, tapi mereka tetap menjaga bentuk aslinya. 

Tiba di kota Donggala setelah menempuh perjalanan panjang, lama dan melelahkan membuat semua gadget jadi lowbatt, satu tempat yang langsung saya cari adalah warung kopi. Selain untuk mengisi kembali gadget-gadget yang lowbatt, sudah dua hari ini saya tidak merasakan racikan kopi yang khas dari warkop di kota. Hampir dua jam saya berkeliling di kota kecil ini, dan tak menemukan satu pun warung kopi yang biasanya menjadi tempat nongkrong warga kota khususnya bapak-bapak. Handphone yang lowbatt juga membuat saya tidak bisa mencari informasi dengan bertanya via twitter atau browsing di google, saya hanya bisa berkeliling dari jalan-jalan besar hingga ke lorong-lorong sempit kota Donggala, tetap tidak ketemu. Biasanya di sekitar pasar, atau di sekitar pelabuhan atau di sekitar perkantoran ada warkop, biasanya… tapi semua itu terbantahkan, tidak ada satu pun warkop yang saya temui. Hingga hampir adzan magrib saya akhirnya singgah di sebuah toko klontong milik warga keturunan Tionghoa yang di terasnya ada beberapa meja dan kursi yang bersusun rapi, sambil membeli minuman kemasan saya meminta izin untuk charging handphone.

Pusat kota Donggala sebenarnya tidak terlalu luas, meski jalannya banyak tapi tetap teratur membentuk blok-blok sehingga tidak membuat saya tersesat. Tanpa guide pun saya bisa mengelilingi pusat kota Donggala sampai ke Tanjung Karang dengan mengandalkan feeling.
Setelah magrib, masalah kedua pun tiba, penginapan. Karena tidak ada teman di Donggala, saya pun memutuskan untuk mencari penginapan. Selain karena handphone, kamera DSLR dan kamera GoPro yang lowbatt, saya juga membutuhkan ruang privasi untuk beristirahat setelah melewati perjalanan panjang melelahkan sejauh 366 KM dari kota Topoyo. Masalahnya, persis seperti kasus warung kopi tadi, sangat susah menemukan penginapan di kota Donggala meski sudah berkeliling sampai di sudut-sudut kota. Sepertinya, kota Donggala ini hanya kota perlintasan, bukan kota transit. Ini karena orang-orang lebih memilih langsung ke kota Palu yang jaraknya sekitar 35 KM dari pusat kota Donggala. Sempat berpikir untuk lanjut mencari penginapan di kota Palu, tapi masih banyak destinasi yang harus saya kunjungi di Donggala ini. Akhirnya dengan sedikit pendekatan ke salah seorang warga, saya pun mendapat tumpangan gratis untuk tidur malam ini di kota Donggala. Alhamdulillah..





Ditulis di Donggala, 5 Maret 2014, hari ke 7 ekspedisi "30 Hari Jelajah Celebes"

No comments:

Bottom Ad [Post Page]