Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Bumi Manakarra Mamuju

Bumi Manakarra Mamuju
Setelah dibasahi hujan semalam, kota Mamuju pagi ini menyapa manis dengan cerahnya. Tidak ada lagi awan hitam menggantung di atas Bumi Manakarra. Setelah bersih-bersih segera saya mengemasi barang-barang, tujuan pertama pagi ini mencari warung kopi.
Setelah hampir setengah jam berkeliling kota dan tidak menemukan warung kopi yang buka, barulah saya sadar ternyata masih jam 7 pagi. Tidak seperti di Makassar yang biasanya warung kopi menjadi “kantor pertama” para oknum PNS, jam 7an biasanya mereka sudah apel di warung kopi dengan berbagai  macam obrolan. 

Akhirnya, di depan kompleks rumah adat di jalan Urip Sumoharjo saya menemukan sebuah warung kopi yang sudah buka dengan beberapa orang coffeeholic  yang sudah asyik mereguk kopi, tidak berseragam PNS. Warung kopi “Kopi Paste” namanya, di bagian depan tergantung selembar spanduk vinyl bertuliskan United Indonesia Chapter Mamuju.

Tak lama menunggu, datanglah seorang sahabat yang berkenalan lewat twitter, Bhust nama panggilannya. Dia pernah kuliah di UNM jurusan Manajemen di tahun 2005, setelah selesai dia kembali ke Mamuju untuk mengadu peruntungan. Sebenarnya Bhust tinggal di Tasiu ibukota kecamatan Kalukku, sekitar 35 KM dari kota Mamuju. Pertemuan di warung kopi itu kami awali dengan pembicaraan tentang kota Mamuju, orang-orangnya, serta hal-hal menarik lainnya. Bhust lumayan banyak tahu tentang Mamuju, sebuah awal yang baik untuk saya yang sama sekali buta tentang daerah ini.

Setelah menghabiskan kopi, Bhust mengajak saya ke kantor gubernur Sulawesi Barat. Sebenarnya tidak ada keinginan untuk bertemu dengan birokrasi, karena seperti daerah-daerah lainnya, saat saya berkunjung ke kantor mereka akan disambut dengan dingin. Orang dengan penampilan seperti saya, naik motor, bawa carrier, berjaket dan wajah yang lusuh akan dipandang sebelah mata, mungkin saja mereka akan menganggap saya orang yang akan minta sumbangan. Pada dasarnya, saya juga tidak ada kepentingan dengan para birokrasi, saya lebih butuh dengan orang-orang seperti  Wari di Pinrang, Koko, Allank dan teman-temannya sanggar Madatte Art di Polewali, Abi di Majene dan Bhust di Mamuju. Mereka dengan tanpa imbalan apa pun rela mengantar saya ke mana saja, bahkan memberikan makanan gratis.

Betul saja, di kantor gubernur saya memperkenalkan diri dan langsung diarahkan ke Dinas Pemuda, Olah raga dan Pariwisata. Iseng-iseng ingin bertemu dengan bapak kepala dinas, tapi beliau sedang keluar, para staf mengarahkan saya bertemu dengan bapak sekertaris. Setelah bertemu dan memperkenalkan diri, dengan mimik yang dingin beliau bertanya tentang maksud kedatangan saya. Tanpa basa-basi saya menyodorkan buku agenda untuk meminta beliau mengisi daftar kunjungan, selesai.
Saat akan keluar, ada staf dinas yang tiba-tiba menegur saya, rupanya dia adalah salah satu followers @Jalan2Seru_ID. Sebagai tanda mata, dia memberikan ole-ole dan beberapa buklet dan buku tentang pariwisata Sulawesi Barat.

Perjalanan saya lanjutkan, kebetulan di depan kantor Gubernur adalah titik Nol Kilometer kota Mamuju. Seperti biasa, foto di titik Nol Kilometer adalah ritual wajib. Tujuan berikut, Bhust mengajak saya menikmati salah satu kuliner (berat) khas Mandar, namanya Bau Piapi. Bau piapi sebenarnya adalah olahan ikan rebus yang dimasak bersama bumbu asam dan kunyit dengan tambahan rempah-rempah laian, sama dengan Pallu mara di Makassar atau Nasu Cemba/Cempa di tanah Bugis. Namun yang khas dari Bau Piapi di RM. Sulbar ini adalah tambahan minyak Mandar yang membuat aromanya semakin kuat. Sebenarnya semua ikan cocok untuk masakan Bau Piapi tersebut, kebetulan siang ini Bhust memilih kepala ikan kakap merah, wuiihhh..

Saat makan siang di RM. Sulbar, tiba-tiba seorang followers mengundang untuk datang di acara pemilihan Keke Muane dan Keke Baine Mamuju, semacam pemilihan putera puteri atau kalau di Makassar pemilihan Dara dan Daeng, bertempat di wisma 45 Mamuju. Setelah berbagi cerita dengan para peserta dan panitia kami pun melanjutkan perjalanan sentra pembuatan tenun ikat Sekomandi di poros menuju bandara di sekitar KM 6.

Bau Piapi

Tiba di tujuan, kami memasuki sebuah rumah semi permanen beratapkan rumbia. Di depan rumah Nampak berdiri baliho kecil bertuliskan “USAHA PERTENUNAN KAIN SEKOMANDI ULU KARUA”. Di halaman samping rumah yang disulap menjadi workshop tampak seorang gadis belia sedang menenun ditemani ibunya, dengan ramah mereka menyambut kedatangan kami. Nurhayati Sitayani (49 tahun) dengan senyuman khasnya menjawab setiap pertanyaan kami, mulai dari sejarah, motif, harga sampai hal-hal lain tentang tenun ikat Sekomandi ini.
Menurut penuturannya, ibu Nurhayati adalah generasi keenam dari  usaha tenun Sekomandi tersebut. Jadi bayangkan betapa tuanya tenun sekomandi ini, dan masih dipertahankan sampai saat ini, baik proses pembuatan hingga corak/motifnya. Banyak yang menarik dari tenun Sekomandi ini, pertama adalah proses pewarnaan, benang diwarnai dalam cairan dengan campuran cabe rawit, laos, kemiri, kaloa, abu palling (abu arang dari kayu palling) dan bahan-bahan lain. Direndam selama sebulan penuh pada jam-jam tertentu. Yang kedua orang yang membuatnya, tenun Sekomandi hanya dibuat oleh keturunan dari keluarga ibu Nurhayati. Awalnya memang hanya dibuat oleh garis keturunan asli keluarga beliau, namun nenek ibu nurhayati yang bernama Mama Balanda yang merupakan generasi pertama memeluk agama Nasrani berpesan kepada anak-anaknya untuk membagikan ilmu keterampilan tenun Sekomandi tersebut, meski dengan syarat-syarat yang agak sulit seperti harus memotong babi, membawa beras 50 liter, membawa ayam, serta pisau/parang. 

Ibu Nurhayati, generasi ke 5 pengrajin tenun ikat Sekomandi

Pusat atau asal dari tenun Sekomandi ini ada di daerah asal ibu Nurhayati di kampung Lebani  desa Karataun  kecamatan Kalumpang kabupaten Mamuju. Tapi pada tahun 1978 keluarga ibu Nurhayati pindah ke kota Mamuju. Ada pun motif kain tenun ikat Sekomandi yang masih dipertahankan hingga sekarang adalah motif Ulu Karua, motif inilah yang paling tua, motif Ulu Karua terdiri dari dua macam yaitu Ulu Karua Barinni (kecil) dan Ulu Karua Kasalle (besar). Motif yang kedua adalah motif Tosso Balekoan, yang ketiga motif Tonoling dan yang terakhir motif Lelen Sepu. Mungkin bagi anda yang pernah ke Toraja, kain tenun Sekomandi pernah anda jumpai di sana. Karena menurut ibu Nurhayati, hasil tenunan dari kampung Lebani kebanyakan dijual di Rantepao dan Makale, sehingga orang-orang mengenal kain tenun Sekomandi sebagai kain tenun Toraja.

Bersama Bhust, teman yang menemani selama di Mamuju

Puas menggali informasi tentang kain tenun Sekomandi, perjalanan pun kami lanjutkan menuju ke Tasiu ibukota kecamatan Kalukku yang berjarak sekitar 35 KM dari kota Mamuju. Di Tasiu, saya berpisah dengan Bhust, sementara saya harus melanjutkan perjalanan ke Topoyo. Pilihan menginap di Topoyo karena kota tersebut adalah daerah persinggahan/transit bagi mereka yang akan menuju ke Pasangkayu bila malam hari. Karena perjalanalan menuju ke Pasangkayu masih ditempuh sekitar 200 KM dengan kondisi medan yang sepi, agak beresiko bagi saya yang mengendarai sepeda motor.
Perjalanan ke Topoyo saya tempuh sekitar 2 jam, selain laju motor yang sengaja saya perlambat agar bisa dengan bebas melihat pemandangan sekitar, sesekali saya juga harus singgah sekedar untuk mengambil gambar.

Perjalanan dari Mamuju ke Topoyo

Tiba di Topoyo sekitar jam 9 malam, tidak ada teman, tidak ada kenalan di tengah kota kecil yang sangat asing bagi saya. Setelah berputar-putar, tibalah saya di warung makan Sumber Batu-batu. Setelah makan malam saya pun minta izin untuk menginap di bale-bale yang disediakan di depan warung. Lumayanlah, setidaknya saya aman malam ini, meski tidak aman dari nyamuk dan dinginnya malam. Rencananya, setelah subuh nanti saya baru akan melanjutkan perjalanan ke kota Pasangkayu. Orang hilir mudik di depan saya, singgah dan pergi setelah makan, sementara saya masih di sini, di atas bale-bale menghabiskan malam, menuntaskan tulisan ini…

*Lanjut baca "Panjangnya Jalur Topoyo Donggala"

Ditulis di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat 4 Maret 2014

(Tulisan ini adalah rangkaian perjalanan 30 Hari Jelajah Celebes, hari ke enam)

No comments:

Bottom Ad [Post Page]