Setelah dibasahi hujan semalam, kota Mamuju pagi ini menyapa
manis dengan cerahnya. Tidak ada lagi awan hitam menggantung di atas Bumi Manakarra. Setelah bersih-bersih segera
saya mengemasi barang-barang, tujuan pertama pagi ini mencari warung kopi.
(Tulisan
ini adalah rangkaian perjalanan 30 Hari Jelajah Celebes, hari ke enam)
Setelah hampir setengah jam berkeliling kota dan tidak
menemukan warung kopi yang buka, barulah saya sadar ternyata masih jam 7 pagi.
Tidak seperti di Makassar yang biasanya warung kopi menjadi “kantor pertama”
para oknum PNS, jam 7an biasanya mereka sudah apel di warung kopi dengan
berbagai macam obrolan.
Akhirnya, di depan kompleks rumah adat di jalan Urip
Sumoharjo saya menemukan sebuah warung kopi yang sudah buka dengan beberapa
orang coffeeholic yang sudah asyik
mereguk kopi, tidak berseragam PNS. Warung kopi “Kopi Paste” namanya, di bagian
depan tergantung selembar spanduk vinyl bertuliskan United Indonesia Chapter
Mamuju.
Tak lama menunggu, datanglah seorang sahabat yang berkenalan
lewat twitter, Bhust nama panggilannya. Dia pernah kuliah di UNM jurusan
Manajemen di tahun 2005, setelah selesai dia kembali ke Mamuju untuk
mengadu peruntungan. Sebenarnya Bhust tinggal di Tasiu ibukota kecamatan Kalukku,
sekitar 35 KM dari kota Mamuju. Pertemuan di warung kopi itu kami awali dengan
pembicaraan tentang kota Mamuju, orang-orangnya, serta hal-hal menarik lainnya. Bhust lumayan banyak tahu tentang Mamuju, sebuah awal yang baik untuk saya yang
sama sekali buta tentang daerah ini.
Setelah menghabiskan kopi, Bhust mengajak saya ke kantor
gubernur Sulawesi Barat. Sebenarnya tidak ada keinginan untuk bertemu dengan
birokrasi, karena seperti daerah-daerah lainnya, saat saya berkunjung ke kantor
mereka akan disambut dengan dingin. Orang dengan penampilan seperti saya, naik
motor, bawa carrier, berjaket dan wajah yang lusuh akan dipandang sebelah mata,
mungkin saja mereka akan menganggap saya orang yang akan minta sumbangan. Pada
dasarnya, saya juga tidak ada kepentingan dengan para birokrasi, saya lebih butuh
dengan orang-orang seperti Wari di
Pinrang, Koko, Allank dan teman-temannya sanggar Madatte Art di Polewali, Abi
di Majene dan Bhust di Mamuju. Mereka dengan tanpa imbalan apa pun rela mengantar
saya ke mana saja, bahkan memberikan makanan gratis.
Betul saja, di kantor gubernur saya memperkenalkan diri dan
langsung diarahkan ke Dinas Pemuda, Olah raga dan Pariwisata. Iseng-iseng ingin
bertemu dengan bapak kepala dinas, tapi beliau sedang keluar, para staf
mengarahkan saya bertemu dengan bapak sekertaris. Setelah bertemu dan
memperkenalkan diri, dengan mimik yang dingin beliau bertanya tentang maksud
kedatangan saya. Tanpa basa-basi saya menyodorkan buku agenda untuk meminta
beliau mengisi daftar kunjungan, selesai.
Saat akan keluar, ada staf dinas yang tiba-tiba menegur
saya, rupanya dia adalah salah satu followers @Jalan2Seru_ID. Sebagai tanda
mata, dia memberikan ole-ole dan beberapa buklet dan buku tentang pariwisata
Sulawesi Barat.
Perjalanan saya lanjutkan, kebetulan di depan kantor
Gubernur adalah titik Nol Kilometer kota Mamuju. Seperti biasa, foto di titik
Nol Kilometer adalah ritual wajib. Tujuan berikut, Bhust mengajak saya menikmati
salah satu kuliner (berat) khas Mandar, namanya Bau Piapi. Bau piapi sebenarnya
adalah olahan ikan rebus yang dimasak bersama bumbu asam dan kunyit dengan
tambahan rempah-rempah laian, sama dengan Pallu mara di Makassar atau Nasu
Cemba/Cempa di tanah Bugis. Namun yang khas dari Bau Piapi di RM. Sulbar ini
adalah tambahan minyak Mandar yang membuat aromanya semakin kuat. Sebenarnya
semua ikan cocok untuk masakan Bau Piapi tersebut, kebetulan siang ini Bhust memilih kepala ikan kakap merah, wuiihhh..
Saat makan siang di RM. Sulbar, tiba-tiba seorang followers
mengundang untuk datang di acara pemilihan Keke Muane dan Keke Baine Mamuju,
semacam pemilihan putera puteri atau kalau di Makassar pemilihan Dara dan
Daeng, bertempat di wisma 45 Mamuju. Setelah berbagi cerita dengan para peserta
dan panitia kami pun melanjutkan perjalanan sentra pembuatan tenun ikat Sekomandi
di poros menuju bandara di sekitar KM 6.
Bau Piapi
Tiba di tujuan, kami memasuki sebuah rumah semi permanen
beratapkan rumbia. Di depan rumah Nampak berdiri baliho kecil bertuliskan
“USAHA PERTENUNAN KAIN SEKOMANDI ULU KARUA”. Di halaman samping rumah yang
disulap menjadi workshop tampak seorang gadis belia sedang menenun ditemani
ibunya, dengan ramah mereka menyambut kedatangan kami. Nurhayati Sitayani (49
tahun) dengan senyuman khasnya menjawab setiap pertanyaan kami, mulai dari
sejarah, motif, harga sampai hal-hal lain tentang tenun ikat Sekomandi ini.
Menurut penuturannya, ibu Nurhayati adalah generasi keenam
dari usaha tenun Sekomandi tersebut.
Jadi bayangkan betapa tuanya tenun sekomandi ini, dan masih dipertahankan
sampai saat ini, baik proses pembuatan hingga corak/motifnya. Banyak yang
menarik dari tenun Sekomandi ini, pertama adalah proses pewarnaan, benang
diwarnai dalam cairan dengan campuran cabe rawit, laos, kemiri, kaloa, abu
palling (abu arang dari kayu palling) dan bahan-bahan lain. Direndam selama
sebulan penuh pada jam-jam tertentu. Yang kedua orang yang membuatnya, tenun
Sekomandi hanya dibuat oleh keturunan dari keluarga ibu Nurhayati. Awalnya
memang hanya dibuat oleh garis keturunan asli keluarga beliau, namun nenek ibu
nurhayati yang bernama Mama Balanda yang merupakan generasi pertama memeluk
agama Nasrani berpesan kepada anak-anaknya untuk membagikan ilmu keterampilan
tenun Sekomandi tersebut, meski dengan syarat-syarat yang agak sulit seperti
harus memotong babi, membawa beras 50 liter, membawa ayam, serta
pisau/parang.
Ibu Nurhayati, generasi ke 5 pengrajin tenun ikat Sekomandi
Pusat atau asal dari tenun Sekomandi ini ada di daerah asal
ibu Nurhayati di kampung Lebani desa
Karataun kecamatan Kalumpang kabupaten
Mamuju. Tapi pada tahun 1978 keluarga ibu Nurhayati pindah ke kota Mamuju. Ada
pun motif kain tenun ikat Sekomandi yang masih dipertahankan hingga sekarang
adalah motif Ulu Karua, motif inilah yang paling tua, motif Ulu Karua terdiri
dari dua macam yaitu Ulu Karua Barinni (kecil) dan Ulu Karua Kasalle (besar).
Motif yang kedua adalah motif Tosso Balekoan, yang ketiga motif Tonoling dan
yang terakhir motif Lelen Sepu. Mungkin bagi anda yang pernah ke Toraja, kain tenun
Sekomandi pernah anda jumpai di sana. Karena menurut ibu Nurhayati, hasil
tenunan dari kampung Lebani kebanyakan dijual di Rantepao dan Makale, sehingga
orang-orang mengenal kain tenun Sekomandi sebagai kain tenun Toraja.
Bersama Bhust, teman yang menemani selama di Mamuju
Puas menggali informasi tentang kain tenun Sekomandi,
perjalanan pun kami lanjutkan menuju ke Tasiu ibukota kecamatan Kalukku yang
berjarak sekitar 35 KM dari kota Mamuju. Di Tasiu, saya berpisah dengan Bhust,
sementara saya harus melanjutkan perjalanan ke Topoyo. Pilihan menginap di
Topoyo karena kota tersebut adalah daerah persinggahan/transit bagi mereka yang
akan menuju ke Pasangkayu bila malam hari. Karena perjalanalan menuju ke
Pasangkayu masih ditempuh sekitar 200 KM dengan kondisi medan yang sepi, agak
beresiko bagi saya yang mengendarai sepeda motor.
Perjalanan ke Topoyo saya tempuh sekitar 2 jam, selain laju
motor yang sengaja saya perlambat agar bisa dengan bebas melihat pemandangan
sekitar, sesekali saya juga harus singgah sekedar untuk mengambil gambar.
Perjalanan dari Mamuju ke Topoyo
Tiba di Topoyo sekitar jam 9 malam, tidak ada teman, tidak
ada kenalan di tengah kota kecil yang sangat asing bagi saya. Setelah
berputar-putar, tibalah saya di warung makan Sumber Batu-batu. Setelah makan
malam saya pun minta izin untuk menginap di bale-bale yang disediakan di depan
warung. Lumayanlah, setidaknya saya aman malam ini, meski tidak aman dari
nyamuk dan dinginnya malam. Rencananya, setelah subuh nanti saya baru akan
melanjutkan perjalanan ke kota Pasangkayu. Orang hilir mudik di depan saya,
singgah dan pergi setelah makan, sementara saya masih di sini, di atas
bale-bale menghabiskan malam, menuntaskan tulisan ini…
*Lanjut baca "Panjangnya Jalur Topoyo Donggala"
Ditulis di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat 4 Maret 2014
*Lanjut baca "Panjangnya Jalur Topoyo Donggala"
Ditulis di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat 4 Maret 2014
No comments:
Post a Comment