Perjalanan di hari kesepuluh adalah perjalanan yang untuk
pertama kalinya saya rasakan sebagai perjalanan yang penuh dengan petualangan.
Bagaimana tidak, saya akan melewati jalur yang sama sekali asing bagi saya,
tidak banyak referensi yang saya dapat tentang jalur Trans Sulawesi Pantai
Timur Parigi Mautong, Sulawesi Tengah.
Namun, ada dua hal yang membuat saya semangat hari ini, ada dua destinasi yang menjadi salah satu “Top Destination” dalam ekspedisi 30 Hari Jelajah Celebes yaitu KOTA JIN WENTIRA dan TUGU NOL DERAJAT KHATULISTIWA.
Namun, ada dua hal yang membuat saya semangat hari ini, ada dua destinasi yang menjadi salah satu “Top Destination” dalam ekspedisi 30 Hari Jelajah Celebes yaitu KOTA JIN WENTIRA dan TUGU NOL DERAJAT KHATULISTIWA.
Semalam saya mendapat banyak masukan dari teman-teman di
Palu via twitter mengenai jalur Kebun Kopi Tawaeli – Toboli, khususnya saran
untuk melewati kawasan Kebun Kopi sebelum jam delapan pagi. Kenapa harus
sebelum jam delapan pagi? Karena jalur Tawaeli – Toboli di Kebun Kopi masih
banyak titik yang sementara dalam tahap perbaikan akibat longsor yang sering
terjadi di daerah tersebut. Tadi malam saya sudah mempersiapkan segalanya,
termasuk menyetel alarm untuk bangun jam setengah lima subuh. Tapi karena lelah
setelah berkeliling kota Palu kemarin membuat tidur saya malam ini sangat
berkualitas. Saya pun terbangun jam setengah delapan pagi.
Setelah bersih-bersih, jam delapan pagi saya mulai
meninggalkan kota Palu menuju ke utara di daerah Tawaeli, sekitar 18 KM dari
pusat kota Palu. Di lampu merah Tawaeli, saya mengambil arah kanan menuju ke
Toboli lewat Kebun Kopi. Perjalanan sangat lancar, jalan lengang, pikirku
mungkin karena masih pagi jadi pengguna kendaraan yang melintas di Kebun Kopi
masih sedikit. Bukit-bukit kecil di sepanjang trans Tawaeli – Toboli sebagian
besar sudah terkikis longsor, sepertinya kontur tanah di bukit-bukit tersebut
adalah tanah yang labil, sehingga saat musim hujan akan mudah tergerus oleh
air.
Di sekitar titik kilometer 10 saya mulai melihat antrian
kendaraan, ternyata di titik inilah terjadi penutupan jalan karena sekitar 200
meter median jalan masih sementara pengerjaan. Ada ratusan kubik tanah yang
menutupi jalan, itulah yang sementara disingkirkan oleh beberapa alat berat.
Satu jam lebih menunggu pengerjaan jalan saya habiskan dengan nongkrong di
salah satu warung. Ada kopi dan jenis minuman lain yang disajikan oleh si
penjual di bawah bangunan non permanen, sengaja tidak dibangun permanen karena beliau
akan berpindah tempat lagi mengikuti lokasi pengerjaan jalan, memanfaatkan
antrian pengguna jalan.
Satu jam lebih menunggu akhirnya tali pembatas yang
melintang di tengah jalan sebagai tanda penutupan jalan pun disingkirkan, satu
persatu kendaraan mulai melintas dengan hati-hati. Di sebelah kanan ribuan
kubik tanah siap menutupi jalan, sementara di sisi kiri jurang dalam menganga
siap melahap kendaraan yang jatuh. Sekitar 10 menit meninggalkan titik
perbaikan jalan, saya pun tiba di jembatan Wentira. Sebuah jembatan kecil
berwarna kuning, ada tugu setinggi 2,5 meter di sisi selatan bagian timur
jembatan, di tugu yang juga dicat berwarna kuning itu ada tulisan NGAPA
UWENTIRA. Tulisan tersebut adalah bahasa suku Kaili yang bila diartikan dalam
bahasa Indonesia menjadi “KOTA UWENTIRA”.
Yaa, menurut kepercayaan sebagian besar warga sekitar Kebun
Kopi di sekitar jembatan tersebut ada “Kota
Jin’. Dan salah satu ujung jembatan kecil tersebut dipercayai sebagai
gerbang untuk masuk ke dalam kota yang tidak kasat mata, kota Wentira. Kata
Wentira sangat popular di kalangan penyuka dan penggiat dunia gaib,
kepopulennya tak hanya di Palu atau kota-kota sekitar tapi sampai ke seluruh
penjuru tanah air. Bila anda mencari kata WENTIRA di google maka akan muncul
beberapa tulisan tentang keanehan-keanehan atau hal-hal gaib lainnya yang
kadang susah dipahami oleh logika kita.
Saat tiba di jembatan Wentira, tampak kerumunan orang-orang,
beberapa di antaranya berseragam TNI dan polisi, ada pula berseragam polisi
hutan, dan tampak pula beberapa orang yang membawa perlengkapan jurnalistik,
sementara sebagian besar lainnya kemungkinan warga sekitar, mereka melengkapi
diri dengan parang. Karena penasaran, saya pun bergabung dengan mereka,
bertanya tentang apa yang terjadi atau apa yang mereka bicarakan. Menurut salah
seorang warga, mereka akan naik ke salah satu bukit yang ada di atas jembatan
Wentira, di sana makam yang panjangnya 9 meter. Makam yang panjangnya 9 meter?
Saya semakin penasaran, saya sebenarnya masih mau menggali informasi tentang
makam tersebut tapi warga tadi malah mengajak saya untuk menyaksikannya
langsung. Awalnya saya mengira bahwa makam tersebut adalah peninggalan sejarah
yang baru ditemukan oleh warga.
Satu persatu rombongan mulai menyusuri sungai kecil berbatu
menuju ke arah utara jembatan Wentira. Kesan mistik terasa saat berada semakin
dalam di alur sungai kecil ini, beberapa tempat sesaji berwarna kuning berupa
miniature rumah menghiasi pinggiran sungai, beberapa di antaranya berisi
benda-benda sesajian. Semakin jauh kami masuk, semakin berat medan yang kami
lalui, kemiringannya pun bertambah, yang tadinya hanya sekitar 45 derajat mulai
meningkat menjadi 60 derajat. Setelah melewati sungai kecil, selanjutnya
rombongan menyusuri jalan setapak di dalam hutan yang masih sangat rapat. Medan
berat dengan kemiringan sampai 60 derajat membuat saya dan beberapa orang tua
termasuk Bapak Kapolsek dan Danramil kecamatan Tanan Tovea yang memimpin
rombongan harus singgah beberapa kali untuk mengatur nafas.
Sekitar setengah jam berjalan dan menempuh sekitar 2
kilometer, akhirnya kami tiba di sebuah puncak bukit. Di sini terdapat beberapa
bangunan yang berdiri di bawah sebuah pohon tinggi dan besar, sementara di
sekitarnya adalah hutan rimba yang masih asri. Ada 4 bangunan di lokasi
tersebut, 3 di antaranya konon adalah makam yang panjangnya 9 meter, makam
tersebut dilengkapi dengan atap senga yang masih baru.
Dari apa yang saya lihat dan mendengar pembicaraan rombongan
akhirnya saya tahu bahwa lokasi yang kami kunjungi ini adalah pusat kegiatan
sebuah sekte terlarang. Bila anda masih ingat peristiwa penggerebekan tempat
kelompok sekte di Palu selatan di bawah gunung Gawalise beberapa tahun lalu,
maka kejadiannya akan seperti itu, ini adalah penggerebekan warga yang tidak senang
dengan kehadiran sekte terlarang ini di kampong mereka. Tapi sayang, kami tidak
dapat informasi lengkap tentang sekte tersebut, karena seluruh anggota sekte
tidak satu pun berada di lokasi ini. Kejadian selanjutnya sudah bisa saya
tebak, warga kemudian menghancurkan dan membakar bangunan-bangunan tersebut.
Penggerebekan pun selesai, rombongan satu persatu mulai
meninggalkan tempat tersebut menyisakan asap yang masih mengepul dari bangunan
yang dibakar. Tiba kembali di jembatan Wentira, saya bertemu dengan salah satu
personil polsek Tanan Tovea, kami bercerita banyak tentang Wentira. Briptu Ian
namanya, beliau adalah putra asli Kebun Kopi, lahir dan besar di sebuah dusun
yang tak jauh dari jembatan Wentira. Orang yang tepat untuk saya mintai
pendapat, cerita atau pengalamannya tentang kepopuleran Kota Jin Wentira.
Menurut Briptu Ian, semua warga di kawasan Kebun Kopi
sama-sama meyakini bahwa Kota Jin Wentira memang ada. Di sekitar Wentira ini
adalah “kerajaan” Jin terbesar yang ada di Indonesia. Tapi hanya beberapa orang
warga yang pernah “diberi” kesempatan untuk berkunjung ke kota tersebut, dan
anehnya sebagian besar mereka yang pernah ke kota Jin Wentira akan mengalami
gangguan jiwa. Logikanya sih mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa ada
kota modern yang lebih modern dari seluruh kota modern di dunia ini.
Dari beberapa pendapat ada yang mengatakan bahwa Wentira
adalah Atlantis yang hilang, ke mana hilangnya Atlantis? Memang setiap
ada ilmuwan yang berspekulasi tentang keberadaan Atlantis akan langsung dibantah
oleh ilmuwan lain. Pendapat lain menyertakan sebuah alasan bahwa Atlantis
adalah kota dengan peradaban yang sudah sangat maju, dikelilingi oleh
gunung-gunung api. Nah, mungkin masuk akal bila selanjutnya ada yang
berpendapat bahwa Atlantis itu ada di Indonesia yang dikelilingi oleh
gunung-gunung apa yang membentang dari Sumatera, Jawa, Sumbawa dan melingkar
hingga ke Sulawesi bagian utara. Nah mungkinkah Atlantis yang hilang itu ada di
Wentira yang kemudian sekarang berevolusi menjadi kota yang tak kasat mata?
Wallahu a'lam..
Briptu Ian kembali melanjutkan ceritanya, ketika kakeknya meninggal dunia dan dikunjungi oleh orang Kota Jin Wentira. Kakek Briptu Ian
adalah seorang Tupu, semacam tetua adat yang sangat dihormati dan dikenal
sering berinteraksi dengan penghuni Kota Jin Wentira. Konon saat pemugaran
jembatan Wentira yang dahulunya adalah bangunan sisa peninggalan Jepang,
segerombolan pasukan berloreng kuning datang menghampiri para pekerja dan
menggertak bila tidak menghentikan pekerjaannya maka mereka akan bertindak.
Nah, saat itu kakek Briptu Ian lah yang kemudian menjadi mediator, sampai
akhirnya jembatan tersebut dipugar dan terpakai hingga kini.
Saat meninggal beberapa tahun lalu, ketika keluarga sedang
mengadakan tahlilan malam pertama, 3 buah mobil mewah sejeis limosin tiba-tiba
berhenti di depan rumah duka. Dari salah satu limosin turun seorang yang
bertubuh tinggi besar dengan perawakan tampan tapi tidak mempunyai garis
lekukan di bibir atas, atau bibir atasnya rata, itulah ciri khas penghuni Kota
Jin Wentira. Orang tersebut memakai setelan jas mahal dengan dasi berwarna
kuning, seperti kepercayaan warga setempat bahwa warna kuning adalah warna khas
orang kota Jin Wentira yang melambangkan kemakmuran. Saat orang tersebut turun
dari mobil dan langsung masuk ke rumah duka, semua warga yang hadir di rumah
duka seketika seperti terhipnotis, hanya bisa melihat jelas dengan mulut
yang tertutup rapat tanpa bisa berkomentar atau pun saling tegur. Orang
tersebut langsung masuk rumah dan menuju ka samping jenasah, seperti sedang
memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum. Setelah itu dia pun pergi,
tapi saat melewati pintu rumah tiba-tiba penampilannya berubah, tak lagi
memakai jas mewah tapi berganti menjadi pakaian adat. Barulah setelah 3 mobil
limosin itu pergi, warga kemudian saling bertanya, siapa mereka? Ada maksud apa
mereka kesini? Dari mana mobil limosin tersebut?? Jangankan di Palu, bahkan di
seluruh pulau Sulawesi pun sepertinya tidak ada satu biji pun mobil limosin.
Mereka pun sama-sama berkesimpulan bahwa rombongan tersebut adalah utusan dari
warga Kota Jin Wentira. Masih banyak lagi cerita tentang interaksi dengan warga
Kota Jin Wentira.
Percakapan saya dengan Briptu Ian diakhiri dengan sesi foto
bersama. Perjalanan pun saya lanjutkan menuju Toboli, sebuah daerah
persinggahan di pertigaan arah ke Sulawesi selatan dan Sulawesi bagian utara.
Tak jauh dari simpang tiga Toboli ada plank bertuliskan MAKASSAR 963 KM dan
MANADO 1046 KM.
Di sekitar persimpangan Toboli banyak penjual Lalampa Toboli, penganan sejenis gogos kambu atau lemper yang dipanggang, isiannya ada campuran kelapa sangrai dan ikan. Di salah satu warung saya singgah untuk mencoba Lalampa Toboli, harganya lumayan murah, paket 5 ribu terdiri dari 4 buah lalampa.
Di sekitar persimpangan Toboli banyak penjual Lalampa Toboli, penganan sejenis gogos kambu atau lemper yang dipanggang, isiannya ada campuran kelapa sangrai dan ikan. Di salah satu warung saya singgah untuk mencoba Lalampa Toboli, harganya lumayan murah, paket 5 ribu terdiri dari 4 buah lalampa.
Perjalanan selanjutnya menyusuri pantai timur mengarah ke
utara Sulawesi, sepanjang jalan saya ditemani dengan pemandangan pantai
dan laut teluk Tomini. Pantai timur memiliki karakteristik laut dengan perairan
yang tenang pikriku, atau mungkin saat ini bukan musim ombak. Sepanjang pantai
saya menyaksikan perairan yang tenang, hanya riak kecil yang sesekali muncul
untuk mempertegas suasana laut.
Sekitar dua jam perjalanan tibalah saya di Desa Sinei, Kecamatan Tinombo Selatan, di
sini berdiri tugu Nol derajat Khatulistiwa. Keberadaannya seolah tak lagi
menjadi sesuatu yang istimewa, bahkan warga yang melihat saya mengambil gambar
seperti bingung, seolah bertanya “kok
begituan difoto??”.
Yaa, tugu khatulistiwa di desa Sinei ini tak sepopuler yang di Pontianak, tugu ini
tak lebih hanya bangunan monumental yang tak punya nilai lagi. Hampir 70 persen
bagian bangunannya sudah rusak dan tidak terurus, miris.
Ditulis di Sinei, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong
8 Maret 2014
8 Maret 2014
(Tulisan ini adalah
rangkaian perjalanan 30 Hari Jelajah Celebes, hari ke sepuluh)
1 comment:
Alhamdulillah sy sdh sampai ke uwentira th kmren.beeeuuu.....
Yg trlht org2 yg di tawan uwentira mlhan
Post a Comment