Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Donggala, Sepotong Surga di Barat Palu

Donggala, Sepotong Surga di Barat Palu
Pagi hari 6 Maret 2014 di Donggala, tawa riang anak kecil yang sedang bermain di depan rumah di kawasan Labuang Bajo, memaksa saya terbangun. Pagi ini saya agak bangun kesiangan, mungkin karena perjalanan seharian dari Topoyo yang membuat sekujur badan pegal-pegal sehingga tidur lebih pulas. Setelah mengemasi barang dan pamit kepada tuan rumah saya pun memacu motor menuju ke arah barat kota Donggala, ke arah Tanjung Karang.
Tak sampai sepuluh menit, saya pun tiba di kawasan wisata bahari Tanjung Karang, jaraknya memang dekat dengan pusat kota Donggala, hanya sekitar 2 KM. Pagi yang begitu tenang di Tanjung Karang, belum ada aktifitas warga sekitar yang mengelola beberapa cottage di sini. Pantai yang penuh dengan bangunan cottage, tapi tak tampak satu pun pengunjung, semalam waktu mencari penginapan di sini, saya melihat 3 orang bule yang menginap di salah satu bangunan di Natural Resort.

 Pantai Tanjung Karang

Di kawasan wisata bahari Tanjung Karang ini ada beberapa lahan yang sudah dikavling, entah bagaimana hitung-hitungannya dengan pemerintah setempat. Dari cottage murah yang harga seratus ribu sampai resort dengan tarif sampai lima ratus ribu, lengkap di sini. Tanjung karang dikenal dengan bawah lautnya yang dalam, hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai langsung dapat tubir. Selain itu, airnya yang sangat jernih, dari pantai saja kita bisa menyaksikan benda-benda di dasar laut pada kedalaman tertentu. Tanjung karang ini juga menjadi tempat favorite bagi warga Donggala bahkan warga Palu untuk liburan atau sekedar menghabiskan waktu jauh dari rutinitas.

 Resort Di Pantai Tanjung Karang

Setengah jam berkeliling di sekitar pantai Tanjung karang membuat perut saya mulai keroncongan. Tujuan selanjutnya adalah menikmati suasana pagi di Pasar Tua Donggala, berharap ada warung yang menjajakan penganan untuk srapan pagi. Tiba di Pasar Tua, pandangan saya tertuju ke salah satu gerobak yang ramai dengan pembeli. Sekedar ingin tahu, saya pun memarkir motor dan mendekat. Sebuah gerobak dengan puluhan jenis penganan yang rata-rata sudah saya kenal, mulai dari donat, bolu, brownis, dan beberapa penganan tradisional lainnya. Saya penasaran dengan salah satu penganan yang bentuknya unik, namanya Sokko panggang. 

Sokko panggang  sebenarnya perpaduan antara lemper dan gogos kambu (Makassar). Cuma kemasannya yang beda, dililit dengan daun pisang sehingga membentu kerucut. Isi dalam Sokko panggang ada dua macam, kata si penjual ada isi daging dan ada isi ikan. Sokko panggang membuat saya cepat kenyang, ini karena bahan utama dari penganan ini adalah ketan. Tak lupa saya memsan segelas kopi hitam untuk menemani makan sokko panggang. Setelah menikmati duet penganan dan kopi hitam tadi, saya menitipkan barang bawaan,carrier kecil yang lumayan berat. Dengan berjalan kaki saya mengelilingi tiap sudut kawasan Pasar Tua. Kawasan ini cukup menarik bagi saya, peninggalan jaman colonial Belanda masih dijaga dengan baik, terutama arsitekturnya. Ada beberapa bangunan yang sudah direnovasi, namun bentuk aslinya masih dipertahankan. Setelah mendapatkan beberapa gambar, saya pun meminta izin kepada penjual penganan tadi tempat saya menitipkan barang. Tujuan berikutnya adalah Pusat Laut.

Informasi tentang pusat laut saya dapatkan dari hasil browsing di internet, meski tidak banyak. Pusat laut adalah sebuah sumur raksasa alami dengan garis sekitar 5 meter dan kedalaman sekitar 4 meter. Konon air di dalam pusat laut ada lorong yang tembus ke tengah laut, sehingga di musim-musim tertentu kita akan menemukan ombak-ombak kecil yang muncul dari dasar sumur sebelah barat. Pusat lau atau dalam istilah masyarakat setempat dikenal dengan “Pusentasi” terletak di selatan kota Donggala, sekitar 15 menit perjalanan darat. Di sekitar kilometer 7 kita akan melihat sebuah plang penunjuk menuju ke arah kanan (barat), setelah melalui kantor KUA kita akan menyusuri jalan kecil beraspal sekitar 4 KM.
Sampai di lokasi kawasan wisata Puasat Laut, ternyata pintu gerbangnya terlilit rantai besar dan sebuah gembok sebagai penyambungnya, ya terkunci. Kecewa? Pastilah, jauh-jauh saya ke sini dan ternyata tempat tersebut ditutup. Saya sempat bertanya dalam hati “ini tempat wisata atau gudang??”. Ketika pemerintah kabupaten lain berlomba-lomba menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerahnya, di Donggala saya menemukan kenyataan seperti ini. Hampir setengah jam saya duduk dan berpikir bagaimana caranya untuk masuk ke kawasan Pusat Laut ini, sampai saya putus asa dan memutuskan untuk kembali ke kota Donggala.

 Pantai Bone Bula Donggala

Tak jauh dari gerbang Pusat Laut, saya penasaran dengan sebuah jalan setapak yang menurut feelingku menuju ke sebuah pantai di pesisir barat. Dan betul, hanya menyusuri sekitar 300 meter jalan setapak tersebut saya sudah sampai di sebuah pantai nan anggun. Tanah lapang dengan rumput hijau lengkap dengan jejeran pohon kelapa yang menambah asri tempat ini. Sekitar 20 meter dari bibir pantai tampak dua buah bangunan yang sepertinya bekas kamar mandi/kamar ganti, berarti dulu pernah ada kegiatan wisata di tempat ini. Pantai berpasir putih sepanjang kurang lebih 400 meter, di ujung utara dibatasi dengan sebuah tanjung dengan gugusan batu-batu karang dan pulau kecil di depannya, sementara di ujung selatan juga sebuah tanjung karang yang kecil, berbatasan dengan kawasan wisata Pusat Laut.
Pantai dengan pasir putih yang sangat halus, hingga warga menamakan tempat tersebut dengan nama “Bone Bula” adalah bahasa Kaili yang artinya “Pasir yang sangat halus”. Sekilas mirip dengan tanjung Bira di Sulawesi selatan, tapi Bone Bula ini versi mininya. Selain pantainya yang landa berpasir putih dan halus, perairan di sekitar pantai juga sangat jernih, dari atas karang kita bisa melihat dengan jelas ikan-ikan berenang dengan bebasnya.

Pantai Bone Bula Donggala

Saat sibuk mengambil gambar tiba-tiba seorang warga setempat menghampiri, Eka namanya, anak muda yang tinggal tak jauh dari pantai Bone Bula dan sering ke tempat ini untuk memancing. Setelah saya menceritakan tentang kekecewaan saya yang tidak bisa masuk ke kawasan Pusat Laut akhirnya Eka mengajak saya untuk menuju ke kawasan tersebut kewat “jalan tikus” di ujung selatan Pantai Bone Bula, akhirnya.

Inilah Pusat Laut yang menjadi magnet bagi saya untuk mengunjungi Donggala. Di sekitar kawasan wisata Pusat Laut tampak berdiri beberapa resort yang biasa disewakan bagi pengunjung. Menurut Eka, kawasan wisata Pusat Laut biasanya ramai dikunjungi saat akhir pecan terutama di hari Minggu, bukan cuma karena pusat lautnya tapi juga karena kawasan wisata ini yang asri yang membuat pengunjung betah berlama-lama di sini.
Satu hal yang membuat saya miris, di kawasan pantai Bone Bula ternyata ada kegiatan penambangan pasir, meski sudah ada papan pengumuman yang terpampang jelas tentang larangan kegiatan penambangan tersebut. Saat kembali dari Pusat Laut, ada sebuah mobil truk dyna yang sudah parkir dan akan memulai mendulang pasir, wahh bila ini terus berlanjut maka mungkin 5 atau 10 tahun ke depan kita tidak akan lagi melihat keindahan pantai Bone Bula.

 Pusat Laut Donggala

Puas berkeliling di pantai Bone Bula dan Pusat Laut, perjalanan saya lanjutkan kembali ke kota Donggala dan selanjutnya menuju ke kota Palu. Siang yang panas, jalanan yang lebar serta kurangnya pohon peneduh membuat jalan lintas Donggala Palu terasa sangat gersang. Beberapa kilo meter dari kota Donggala saya mulai melihat kegiatan penambangan golongan C di sekitar bukit-bukit trans Donggala-Palu. Semakin jauh meninggalkan kota Donggala semakin banyak kita melihat titik-titik aktifitas penambangan. Bukit-bukit yang berdiri kokoh sedikit demi sedikit dikikis hingga beberapa bukit lainnya sudah rata dengan jalan raya. Sementara di pantai, laut ditimbun dari hasil material yang ditambang sebagai dermaga sandar kapal-kapal tongkang besar. Lewat kapal-kapal tongkang tersebut galian material dikemas untuk dibawa ke Kalimantan dan beberapa daerah lain. Dari sekitar 30 kilo meter bentangan garis pantai dari kota Donggala ke Palu, mungkin yang tersisa (belum ditimbun) hanya 20%, selebihnya sudah ditimbun dan dijadikan dermaga.
Apa sih pikiran pemerintah setempat? Tidakkah mereka memikirkan dampak yang akan timbul dari kegiatan penambangan tersebut? Hanya karena alas an meningkatkan pendapatan daerah sehingga tanah dan laut dijual. bukit yang indah digerus, pantai yang cantik ditimbun, tidak ada lagi keindahan.

*Lanjut baca "Kota Jin Wentira, Lalampa Toboli dan Tugu Khatulistiwa"

6 Maret 2014

(Tulisan ini adalah rangkaian perjalanan 3o Hari Jelajah Celebes, hari ke delapan)

No comments:

Bottom Ad [Post Page]