Ekspedisi ini melewati lebih dari 100 kota di puluhan provinsi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Akan menuntaskan puluhan ribu kilo meter jarak jelajah. Datsun Risers Expedition bukan hanya perjalanan konvoi mobil melintasi banyak kota di Nusantara, ada beberapa rangkaian program yang inspiratif, yang tidak hanya akan memperluas awareness Datsun di Indonesia, tapi juga memberikan pengalaman berbeda bagi peserta dan juga masyarakat yang akan terlibat sepanjang perjalanan. Diantaranya melakukan program sosial, berupa pemberian donasi buku bacaan dan alat-alat tulis kepada ratusan sekolah dan siswa selama perjalanan berlangsung.
Senin 28 September 2015, lima tim peserta “Datsun RisersExpedition” sudah memasuki hotel Horison Makassar untuk briefing and driving adjustment.
Dari sekitar 800an orang yang mendaftar di etape ke-tiga (Makassar), akhirnya
terpilih 15 orang yang tergabung ke dalam lima tim. Prayogo Prakoso, official
DRE menyatakan bahwa RISERS (sebutan bagi peserta DRE) di etape ke tiga ini
yang paling variatif berdasarkan kota asal. Tim 1 berasal dari Makassar, Tim 2
adalah srikandi-srikandi dari Semarang dan Jogjakarta, Tim 3 berasal dari kota
Bandung, Tim 4 juga adalah Tim wanita yang berasal kota Surabaya, dan yang
terakhir teman-teman dari ibukota Jakarta, ada 3 Tim laki-laki dan 2 Tim
perempuan. Lima belas Risers ini akan menjelajahi Sulawesi Selatan selama tiga
hari menggunakan DATSUN GO+ PANCA, sekaligus merasakan performa produk DATSUN
ini dalam perjalanan panjang dengan berbagai macam kondisi medan.
HARI PERTAMA
Setelah mendapatkan penjelasan detail tentang program dan
teknis Datsun Risers Expedition, pagi hari Selasa 29 September 2015 para Risers memulai perjalanan
dari dealer DATSUN di Jl. Gn. Latimojong. Tujuan pertama adalah salah satu ikon
kota Makassar, Pantai Losari.
Tim Datsun Risers Expedition di Pantai Losari
Puas berfoto dan mengambil gambar di kawasan Pantai Losari,
perjalanan dilanjutkan ke Sokola Pesisir di Kelurahan Mariso untuk berbagi
inspirasi dan sekaligus rangkaian kegiatan Corporate Social Responsibility
(CSR) DATSUN dan Datsun Risers Expedition.
Di Sokola Pesisir, para riser ditantang untuk berinteraksi
langsung dengan anak didik. Masing-masing tim akan “mengajar” beberapa anak,
memberi inspirasi, memberi semangat, berbagi pengalaman, bernyanyi, mendongeng
dan berbagai aktifitas lain.
Bernyayi bersama anak-anak Sokola Pesisir
Tim saya (Tim 1) mendapat tugas untuk mendampingi Nurqalbi
(6 tahun) dan 5 temannya. Sebagai anak-anak yang tumbuh di kawasan “kumuh” dan
padat penduduk kota Makassar, Nurqalbi dan kawan-kawan memang terkesan “liar”,
sangat susah membuat mereka duduk teratur apalagi untuk mendengar cerita kami. Untuk
mengakalinya, saya mengajak mereka bernyanyi dengan iringan ukulele, sembari
Farmy membagikan permen untuk membuat Nurqalby sedikit diam. Kelas kelar, tim
dari Datsun Indonesia dan Datsun Risers Expedition tak lupa memberikan
bingkisan sebelum meninggalkan Sokola Pesisir, diwakili oleh Indri Hadiwidjaya (Mba
Indri).
Foto bersama dengan anak-anak Sokola Pesisir
Perjalanan kami lanjutkan, tujuan berikut adalah Benteng
Rotterdam yang terletak di jalan Pasar Ikan. Tim Datsun Risers Expedition
memanfaatkan waktu kunjungan yang singkat di benteng yang menjadi saksi
kejayaan Makassar tempo dulu ini. Mengunjungi bekas ruang tahanan Pangeran Diponegoro
serta museum Lagaligo, membuat takjub para Risers yang umumnya dari Pulau Jawa.
“Benteng Rotterdam atau Benteng Panynyua ini adalah salah
satu benteng terbaik peninggalan sejarah Nusantara” ujar Bung Ical selaku
Project Officer menjelaskan tentang Benteng Rotterdam. Kunjungan di Benteng
Rotterdam ditutup dengan foto bersama.
Jam sudah menunjukkan pukul 11:15 saat iring-iringan konvoi
meninggalkan Benteng Rotterdam. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Toraja, tim Datsun
Risers Expedition akan singgah makan siang di Rumah Makan Kota Daeng, Sudiang. Menu
kuliner khas Makassar seperti Pallu Mara, cumi tumis dan olahan sea food lain
sudah tersaji rapi di atas meja panjang. Perut lapar dan tampilan kuliner-kuliner
yang sangat menggoda membuat para Risers tak sabar menyantap habis semua
makanan yang disiapkan.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke Tana Toraja. Jarak tempuh
kurang lebih 150 kilometer dan kondisi jalan yang lurus dan berbeton menuju
kota Pare-pare dimanfaatkan oleh para Risers untuk merasakan performa DATSUN GO+ PANCA.
Saya tak mau ketinggalan menjajal kemampuan mobil dengan
mesin 1,2 liter dengan transmisi manual 5 ini. Kesimpulan pertama yang saya
dapat adalah kecepatannya cukup impresif untuk ukuran mobil LCGC yang umumnya
memiliki performa kurang menjanjikan. Putaran mesin terbaik untuk memacu mobil
ini ada pada putaran tengah hingga mendekati redline. Konsumsi bahan bakarnya
juga lumayan irit.
Untuk interior, DATSUN GO+ PANCA tidak seperti mobil lain di
kelasnya yang terkesan kaku, ada kesan mewah dari lekukan-lekukan desain
interiornya. DATSUN GO+ PANCA juga sudah
dilengkapi dengan ECO indicator seperti, dengan fitur ini rasanya untuk mobil
dengan harga dibawah 100 juta sudah cukup menjanjikan.
Lima type DATSUN GO+ PANCA tunggangan para Risers
Lepas dari track lurus dan landai Makassar – Pare-pare, kembali
kami menjajal performa DATSUN GO+ PANCA pada track berkelok dan naik turun di
jalur Pare-pare – Tana Toraja. Tenaga yang dihasilkan memang tidak terlalu
besar, mungkin hal ini dikarenakan bobotnya yang ringan, tapi kecepatan yang
kami dapat lumayan baik. Bobot yang ringan secara tidak langsung berdampak
buruk pada pengendaliannya, dimana gejala body roll mudah timbul di tikungan
dalam kecepatan tinggi. Namun hal ini tentu bukan perkara besar, karena sejatinya
DATSUN GO+ Panca bukan sebuah mobil yang diperuntukan memacu adrenalin,
melainkan efesiensi dalam berkendara. Dengan kecepatan yang stabil, waktu tempuh Makassar – Toraja
dapat kami selesaikan dalam waktu kurang lebih 8 (delapan) jam.
Menyusuri jalan kampung di Sa'dan Toraja Utara
Di hotel Misiliana Rantepao Toraja Utara, penari cantik
gemulai menyambut kami, tak ketinggalan para penari lelaki yang sesekali berteriak
melengking khas teriakan warga Toraja. Hari pertama Datsun Risers Expedition ditutup
dengan dinginnya malam Toraja, tak menunggu lama para Risers sudah terbuai
indah dalam balutan selimut.
HARI KEDUA
Menempuh perjalanan jauh yang mestinya melelahkan, pasti
akan membuat sekujur tubuh pegal, tapi hal tersebut tak kami rasakan saat
bangun pagi di hari kedua. Tak ada guratan lelah di wajah para risers, pun
keletihan atau badan pegal-pegal, ini dikarenakan jok DATSUN GO+ yang didesain
sedemikian rupa sehingga memberi rasa yaman bagi pengendara dan penumpangnya.
Kegiatan pagi diawali dengan sedikit peregangan tubuh
setelah sarapan. Dipimpin oleh Bung Ical, kami diajak untuk merasakan sentuhan
langsung embun pagi yang masih tersisa di ujung rerumputan. Nikmat sekali pagi
ini, hawa segar khas pegunungan di Toraja ditambah senyum ramah para warga yang
sesekali melintas di dekat kami membuat pagi ini sangat indah.
Satukan semangat, tepiskan ego, bersama menuju satu cita-cita
Kunjungan pertama tim Datsun Risers Expedition hari kedua
dimulai di kawasan wisata Kete’ Kesu’. Kete’ Kesu’ lebih dikenal sebagai objek
wisata rumah adat masyarakat Tana Toraja atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Tongkonan. Namun sebenarnya terdapat pula makam/kuburan kuno masyarakat Toraja
yang lokasinya ada di belakang kompleks rumah Tongkonan tersebut. Didampingi oleh
Pak Usman, seorang guide professional dari Rantepao, Risers Datsun Risers
Expedition mendapat banyak informasi penting baik tentang Kete’ Kesu’, budaya
Tana Toraja sampai ke Tongkonan. Satu hal yang menjadi catatan bagi saya,
adalah penamaan Tongkonan bagi rumah adat Toraja. Ternyata tak semua rumah
dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau ini disebut dengan Tongkonan, ada
syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan oleh adat yang berupa aturan tak
tertulis.
Pak Usman menjelaskan, sebuah rumah adat Toraja akan
dinamakan sebagai Tongkonan bila di rumah tersebut telah dilaksanakan upacara
Rambu Solo sebanyak 5 (lima) kali. Jadi, meskipun di rumah tersebut telah
dipotong puluhan bahkan ratusan kerabu (ditandai dengan banyaknya tanduk
kerbau) tapi belum sampai 5 kali pelaksanaan Rambu Solo, maka belum pantas
disebut sebagai rumah Tongkonan. Rumah tersebut masih dianggap sebagai rumah
biasa dan tanduk-tanduk kerbau yang telah dipotong tidak boleh dipasang di
tiang deapan Tongkonan sampai pada saat pelaksanaan Rambu Solo ke 5 (lima). Itulah
salah satu alasannya kenapa pelaksanaan upacara Rambu Solo selalu diadakan di
satu kawasan seperti di sekitar Kete’ Kesu’ ini, bukan di rumah masing-masing
orang yang meninggal.
Tongkonan yang dibangun pada tahun 1685
Salah satu kearifan lokal warga Toraja yang masih terjaga
ratusan tahun hingga hari ini adalah sifat gotong royong. Hampir semua aktifitas
warga Toraja dilakukan secara bersama meski tanpa undangan atau panggilan. Untuk
pelaksanaan upacara Rambu Solo saja, persiapannya sudah dimulai dua bulan (bahkan
bisa lebih) sebelum hajatan dimulai. Setiap hari selama persiapan tersebut, kerabat,
keluarga dekat, keluarga jauh bahkan tetangga yang tanpa pertalian darah pun
akan dengan sukarela membantu persiapan. Mereka dengan ikhlas tanpa diminta
akan menyisihkan waktunya di sela-sela kesibukan masing-masing. Sebagai ucapan
terima kasih, keluarga yang punya hajat akan menyiapkan segala keperluan
termasuk urusan perut, mulai dari makanan berat, makanan ringan, kopi/teh
sampai rokok. Bayangkan berapa biaya yang akan dikeluarkan selama persiapan
tersebut. Belum lagi saat pelaksanaan pesta yang bisa sampai tujuh hari dengan
pengeluaran yang extra besar tiap harinya, baik untuk makan minum para tamu
atau pun untuk hewan kurban seperti tedong (kerbau) dan babi. Tak heran bila
untuk satu upacara Rambu Solo, dana yang harus dikeluarkan oleh keluarga bisa mencapai
angka miliaran rupiah bahkan lebih.
Mendengarkan penjelasan dari guide sebelum masuk ke Kete' Kesu'
Apa arti nilai miliaran rupiah ini? Apakah satu bentuk
ke-mubadzir-an? Buang-buang uang? Sangat picik pikiran kita bila beranggapan
seperti itu. Ini semua adalah bentuk kepatuhan, dedikasi dan pengorbanan buat
orang tua yang meninggal. Sebab semua dana yang timbul dari upacara Rambu Solo adalah
beban dari anak-anak dan cucu-cucu (yang sudah berkeluarga) secara patungan. Selain
itu, hal ini adalah bentuk sedekah warga Toraja, wadah berbagi antar warga. Selebihnya
adalah prestise, gengsi dan kebanggaan.
Puas meng-eksplor Kete’ Kesu’, perjalanan tim Datsun RisersExpedition dilanjutkan ke Sa’dan di utara kota Rantepao. Kedatangan kami ke
sini adalah atas undangan keluarga Bung Romy (Road Capten DRE) yang kebetulan
beristri orang Sa’dan. Nenek mertua istri Bung Romy telah meninggal dunia dan
akan diupacarakan bulan Oktober nanti di kawasan Perumahan Adat Galugu Dua, Sa’dan.
Di rumah keluarga Bung Romy, peserta mendapatkan kesempatan untuk
bersilaturahmi dengan keluarga dan menyaksikan langsung jasad sang nenek.
Kawasan Wisata Perumahan Adat Galugu Dua
Di kawasan wisata Perumahan Galugu Dua, persiapan upacara
Rambu Solo sudah dimulai, beberapa Lantang (tempat sementara yang terbuat dari
bambu dan kayu untuk para tamu) telah berdiri, begitun pun dengan Lakkien
(menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi berlangsung). Di Galugu
Dua ini juga terdapat sebuah Tongkonan yang berusia ratusan tahun, konon
menurut warga setempat Tongkonan tersebut dibangun pada tahun 1685.
Perjalanan kami lanjutkan untuk makan siang, lokasi yang
dipilih panitia adalah rumah makan Panorama di Makale. Konsep rumah makan yang
berada persisi di tepi areal persawahan, sehingga pengunjung bias santai
menyantap makanan sambil menikmati sawah, bukit dan rumah-rumah adat Toraja. Di
rumah makan ini juga banyak wisatawan luar negeri yang sedang makan siang,
aneka kuliner khas Toraja yang disiapkan oleh pengelola mungkin yang menjadi
salah satu daya tarik bagi mereka.
Pukul 14:30, setelah makan siang perjalanan dari rumah makan
panorama kami lanjutkan menuju ke kota Watampone tapi sebelumnya akan singgah
di beberapa tempat. Konvoi sebanyak 15 kendaraan tim Datsun Risers Expedition
yang terdiri dari RC (Road Captain) paling depan untuk membuka jalan, disusul
mobil kami Tim 1 dan berurutan ke belakang sampai di mobil Tim 5, kemudian
mobil VIP dan support team, melaju membelah siang di kota Makale. Jalan berkelok
dan menurun kembali harus dilalui di trans Makale – Enrekang.
Pose dengan latar belakang Gunung Nona
Di tengah perjalanan sebelum memasuki kota Enrekang, tim Datsun
Risers Expedition singgah di rumah makan Bukit Indah untuk istirahat sekaligus
menikmati pesona Gunung Nona. Gunung Nona adalah sebuah bukit kecil di antara
gugusan bukit di kaki Gunung Latimojong. Yang unik dari Gunung Nona selain
panorama alam di sekitarnya adalah bentuknya yang menyerupai (maaf) alat
reproduksi wanita. Tak heran bila para risers wanita terlihat canggung dan
malu-malu saat memandangi rupa Gunung Nona atau warga sekitar menyebutnya Buntu
Kabobo.
Konvoi kendaraan kembali melaju rapi di atas aspal hitam
trans Toraja Enrekang. Jalan masih berkelok, menurun dan sesekali mendaki. Lima
mobil DATSUN GO+ PANCA peserta Datsun Risers Expedition tampak dengan mudah
mengimbangi laju mobil Nissan Navara (2500 cc) Road Captain yang membuka jalur
di depan.
Tim dokumentasi di atas kendaraan Road Captain
Memasuki kecamatan Maiwa yang merupakan kecamatan terakhir
di sebelah barat kabupaten Enrekang, kondisi jalan mulai bersahabat, landai dan
sedikit lurus. Rombongan konvoi Datsun Risers Expedition singgah makan malam di
kota Pangkajene ibukota kabupaten Sidrap, sebelum melanjutkan sisa perjalanan
ke kota Watampone kabupaten Bone.
Hampir tengah malam, rombongan Datsun Risers
Expedition tiba di hotel Novena kota Watampone. Rasa ngantuk dan sedikit lelah
membuat para risers tak kuat lagi untuk segera berbaring, meluruskan badan dan
meregangkan otot.Watampone, 30 September 2015
1 comment:
enaknya mas bisa keliling2 gratis, saya juga mau nih, e tapi daftarnya harus 3 orang ya minimal...
Post a Comment