Seperti hari-hari sebelumnya, setelah sarapan dan sebelum
memulai kegiatan kami diajak untuk stretching
untuk sekedar meregangkan tubuh. Dipimpin oleh Bung Ical, kami melakukan
gerakan-gerakan kecil utamanya pada anggota tubuh yang banyak bergerak saat
berkendara seperti tangan dan kaki. Selanjutnya, mendengarkan sedikit
pengarahan tentang jalur dan destinasi yang akan dilalui hari ini.
Pukul delapan pagi, iringan konvoi mulai meninggalkan Hotel
Novena tempat kami menginap, menuju ke arah timur kota Watampone. Tujuan kami
adalah alun-alun kota Watampone yang lebih dikenal dengan kawasan Lapangan
Merdeka dan Taman Bunga. Di kawasan Taman Bunga ada sebuah patung yang menarik
perhatian para peserta, sebagai peserta lokal saya pun diminta untuk
menjelaskan tentang siapa sosok yang patungnya berdiri kokoh menghadap ke rumah
jabatan Bupati Kabupaten Bone ini.
Arung Palakka, lahir di Lamatta, Mario ri Wawo, Soppeng, 15
September 1634 dan meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun.
Arung Palakka adalah Sultan Bone yang menjabat pada tahun 1672-1696. Arung
Palakka bergelar “La Tenritatta To Unru To ri SompaE Petta MalampeE Gemme'na
Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin”.
Bagi orang Bone, Arung Palakka adalah sang pembebas, yang
mengerahkan segala upaya untuk membebaskan penjajahan kerajaan Gowa kepada
kerajaan Bone. Itulah alasan mengapa patung Arung Palakka didirikan di
alun-alun kota Watampone, meski sosok beliau dicap sebagai pemberontak karena
membantu Belanda melawan Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa. Namun bagi warga
Bone, beliau tetap sebagai pahlawan.
Foto bersama di depan patung Arung Palakka
Arung Palakka dikenal sebagai Raja Bone yang berambut
panjang, sesuai dengan gelarnya “Petta Malampe’e Gemme’na” atau Raja yang
panjang rambutnya. Konon sebelum meninggalkan kerajaan Bone untuk mencari
bantuan melawan kerajaan Gowa, beliau bersumpah di hadapan rakyatnya bahwa
tidak akan memotong rambutnya sebelum membebaskan rakyat Bone dari penjajahan
kerajaan Gowa. Tentang bagaimana sepak terjang Arung Palakka dan Sultan
Hasanuddin dalam membangun dan mempertahankan kerajaan dari penjajahan, orang
Bone dan orang Gowa saat ini masing-masing punya versi yang diyakini dan
berbeda, siapa yang salah siapa yang benar, siapa yang pahlawan dan siapa yang
pemberontak. Satu yang mungkin bias menjadi kesepakatan bersama, bahwa peristiwa
di abad ke 17 itu adalah luka masa lalu, perang dari dua kerajaan bersaudara,
seperti yang kita ketahui bahwa Arung Palakka dan Sultan Hasanuddin adalah
teman sepermainan waktu kecil, Arung Palakka juga pernah tinggal di lingkungan kerajaan
Gowa sewaktu masa kanak-kanak. Perang saudara ini adalah peristiwa masa lalu
yang tak perlu lagi diungkit, biarlah menjadi catatan kelam sejarah Bone dan
Gowa.
Setelah foto bersama di depan patung Arung Palakka, konvoi
Datsun Risers Expedition melanjutkan perjalanan menuju ke arah selatan,
kabupaten Sinjai. Jalan lurus dan beraspal mulus menjadi kesempatan bagi Risers
untuk kembali merasakan performa mobil Datsun Go+ Panca. Tetap stabil dan
lincah di jalan lurus meski kecepatan di atas 100 KM/jam, adalah catatan yang
kami simpulkan saat menjajal jalur Watampone – Sinjai ini. Tak henti-hentinya
Bung Romy sebagai Road Captain mengingatkan para Risers untuk tetap waspada,
tetap fokus mengendarai Datsun Go+ di jalan lurus.
Sekitar pukul 11:30 konvoi Datsun Risers Expedition melintas
di ibukota kabupaten Sinjai. Tidak ada jadwal kunjungan di Kabupaten Sinjai,
kami harus mengejar waktu untuk sampai di Tanjung Bira lebih cepat agar
kesempatan menikmati halusnya pasir pantai Bira lebih lama. Perjalanan ke
kabupaten Bulukumba dari Sinjai mulai berkelok setelah lepas dari gerbang
selamat datang. Kontur berbukit membuat jalan-jalan berkelok, menurun dan
mendaki, kecepatan harus diturunkan sedkit, mengingat jalur trans Sinjai –
Bulukumba adalah jalur dengan lalu lintas yang lumayan ramai.
Cuaca panas dan kondisi tubuh yang mulai menurun karena
sudah berkendara beberapa jam membuat para Risers mulai ngantuk. Tapi pemandangan
yang terhampar di kiri kanan jalan sangat memanjakan mata para Risers, melawan
rasa ngantuk yang menyerang. Sawah yang bertingkat-tingat, bukit-bukit kecil
dan sungai yang berkelok-kelok serta senyum ramah para warga membuat para
Risers semakin betah menahan ngantuk dan tidak ingin melewatkan momen indah ini
sedetik pun.
Untuk menemani para Risers di perjalanan, tak lupa tim logistik
selalu menyertakan minuman ringan di cool box serta cemilan di masing-masing
mobil Risers. Tim mekanik pun tak mau ketinggalan untuk selalu waspada akan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada mobil peserta konvoi. Panitia betul-betul
telah mempersiapkan dan merencanakan dengan matang sebuah perjalanan dengan
standarisasi keselamatan.
Menikmati olahan seafood di RM. Kampoeng Nelayan
Pukul 14:00, kami sudah tiba di Rumah Makan Kampoeng Nelayan
di Tana Beru, Bulukumba untuk makan siang. Sekali lagi kesigapan tim yang sudah
terlebih dahulu tiba untuk menyiapkan semuanya, sehingga saat konvoi tiba semua
makanan sudah tersaji dan peserta konvoi tinggal makan. Menu ikan bakar dan
olahan sea food lain kembali memanjakan lidah para Risers, Bulukumba memang
dikenal sebagai salah satu daerah penghasil ikan laut terbesar di Sulawesi
Selatan, wajar bila ikan-ikan laut segar sangat mudah ditemui di daerah ini. Setelah
santap siang, para Risers diberi waktu untuk menikmati pantai Tana Beru sambil
menunggu teman-teman media yang melakukan wawancara dengan rombongan VIP Datsun
Indonesia. Tak Cuma pantainya yang indah, di lepas pantai nampak puluhan pinisi
beragam ukuran sedang berlabuh. Atmosfer “Bumi Panrita Lopi” mulai terasa di
sini, Tana Beru Negeri para maestro pinisi.
Foto bersama di salah satu Pinisi
Perjalanan dilanjutkan menuju ke sentra pembuatan perahu
pinisi yang tak jauh dari Rumah Makan Kampoeng Nelayan. Sentra pembuatan pinisi
berada di salah satu jalan kecil di Tana Beru, begitu memasuki jalan kecil di
kanan trans Bulukumba – Bira akan langsung kita saksikan kesibukan para pekerja
di atas pinisi-pinisi yang sementara dalam tahap pekerjaan, tak kurang dari 50
buah pinisi dengan beragam ukuran sedang dikerjakan di sini. Para pekerja
dengan sigap dan teliti mengerjakan detail demi detail, sembari sesekali sang
Punggawa (kepala tukang/mandor) memberi instruksi kepada para pekerja.
Pinisi sebenarnya merupakan nama layar, kapal ini umumnya
memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan,
dua di depan, dan dua di belakang. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2
kalimat syahadat dan tujuah buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah.
Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan
dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia. Pinisi
umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau.
Konon, nama Pinisi ini diambil dari nama seseorang yang
bernama “Pinisi” itu sendiri. Suatu ketika dia berlayar melewati pesisir pantai
Bira, Pinisi melihat rentetan kapal sekitar laut sana, dia kemudian menegur
salah seorang nahkoda kapal tersebut bahwa layar yang digunakannya masih perlu
diperbaiki. Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian
rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini. Atas
teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama
Pinisi.
Membuat Pinisi ibaratnya proses kejadian seorang manusia,
semua dilakukan secara teratur sesuai urutannya dan dibuat secara detai dengan
diawali oleh ritual-ritual yang sakral.
Diawali dengan upacara/ritual kurban untuk pembuatan perahu.
Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada
bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah
di tangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) adalah symbol yang berarti
selalu dapat rezeki atau menuju rezeki. Setelah dapat hari baik, lalu kepala
tukang yang disebut "punggawa" memimpin pencarian.
Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh
penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk
dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan
fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan
arah urat kayu agar kekuatannya terjamin. Setelah semua bahan kayu mencukupi,
barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.
Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu
pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan
merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai
simbol wanita. Filosofi dalam sebuah rumah tangga adalah seorang lelaki selalu
berada di depan (imam) untuk menuju ke tujuan yang benar, sedangkan sang wanita
selalu mengikuti serta mendukung dari belakang. Setelah dimantrai (baca-baca),
bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan
dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu,
pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.
Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh
tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilarikan untuk
dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan sebagai
suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas
bagian belakang disimpan di rumah, disimbolkan sebagai istri pelaut yang dengan
setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Pemasangan papan pengapit lunas, disertai dengan upacara Kalebiseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas,
disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil
sampai ke atas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk
perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan
dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.
Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan
dengan pekerjaan A’panisi, yaitu
memasukkan majun pada sela papan. Untuk merekat sambungan papan supaya kuat,
digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan Allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul
terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk Selama
12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal 100 ton, diperlukan 20 kg
dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit
pepaya.
Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya.
Upacara selamatan diadakan lagi, peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili yaitu ritual yang bertujuan
untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri
dari daun sidinging, sinrolo, taha
tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam
air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu.
Untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing,
sedangkan untuk kapal 100 ton ke atas, dipotong seekor sapi. Setelah dipotong
kaki depan kambing atau sapi dipotong bagian lutut kebawah digantung di
anjungan sedangkan kaki belakang di gantung di buritan phinisi. Maknanya adalah
untuk memudahkan saat peluncurannya seperti jalannya binatang secara normal.
Selanjutnya ada upacara Ammossi yaitu
upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu
ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' Punggawa atau Panrita Lopi sehingga
dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara Ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru
lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua
tiang. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran
kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa
sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas, doa dan
mantra pun diucapkan mengiringi peluncuran pinisi ke laut. [Wikipedia]
Puas menggali informasi tentang pinisi, perjalanan
dilanjutkan ke Pantai Tanjung Bira yang berjarak sekitar dua puluh KM dari Tana
Beru. Matahari mulai condong ke barat, tak banyak kesempatan menikmati pantai
Bira dan bawah lautnya. Para risers tidak membuang kesempatan, dengan sigap
mereka menyiapkan segala kebutuhan sebelum naik ke perahu yang akan membawa ke
Pulau Liukang. Sekitar setengah jam berikut, para Risers sudah berada di dua
perahu yang disiapkan oleh panitia.
Pantai Bira
Pantai Tanjung Bira merupakan pantai berpasir putih dan
halus sehalus tepung yang sangat terkenal di Provinsi Sulawesi Selatan. Karena
keindahan tersebut, Tanjung Bira terkenal di mancanegara. Pasir pantainya yang
berbeda dari pasir pantai lain pada umumnya membuat Tanjung Bira sangat unik.
Tekstur pasir yang lembut merupakan ciri dari Pantai Tanjung Bira. Pesona
pantai dengan panorama alam pesisir pantai tropis , jajaran pohon kelapa serta
bukit karang yang tampak kokoh menjadikan pantai ini terlihat sangat indah.
Snorkeling di Pulau Liukang Loe
Destinasi utama sore ini adalah snorkeling di lepas pantai
Pulau Liukang Loe. Pulau Liukang Loe merupakan sebuah pulau kecil yang terletak
di sebelah barat daya Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, Provinsi
Sulawesi Selatan. Nama Liukang Loe konon berasal dari Bahasa Konjo [Asimilasi bahasa Bugis-Makassar, umumnya dituturkan oleh warga Sulawesi Selatan yang bermukim di timur sampai selatan kabupaten Bulukumba], Liukang berarti kayu hitam dan
Loe berarti banyak. Jadi Pulau Liukang Loe berarti sebuah pulau yang mempunyai
banyak kayu hitam. Pulau ini merupakan pulau berpenghuni dan di dalamnya
terdapat dua kampung yakni Kampung Buntutuleng dan Passilohe. Pulau Liukang Loe
mempunyai pantai dengan hamparan pasir yang berwarna putih serta air laut yang
berwarna biru jernih. Salah satu aktifitas wisata yang pas di sini adalah
snorkeling, karena perairannya yang tidak terlalu dalam. Meski perairannya
tidak terlalu dalam namun pemandangan bawah laut yang tersaji tak kalah dengan tempat
lain di Nusantara ini.
Sunset di Pulau Liukang Loe
Snorkeling di bawah hamparan sinar jingga di ufuk barat
membuat suasana sore itu sangat romantis. Mentari perlahan tenggelam, seolah
menyesal dengan kedatangan kami yang agak telat. Masih banyak cerita yang ingin
disampaikannya, karena Bira, Pulau Liukang Loe, Pulau Kambing dan semua yang
ada di dalamnya terlalu indah dan terlalu singkat untuk dikunjungi dalam sehari
apalagi hanya dalam hitungan jam. Toh, ini tak mengurangi kebahagiaan para
Risers, semua keindahan itu sudah terwakili sore ini. Sunset yang indah telah menyimpan
semua cerita indah itu, bila kelak para Risers rindu dengan Bira, silakan pandangi
matahari yang terbenam di ufuk barat.
Malam telah menutup rangkaian cerita indah perjalanan DatsunRisers Expedition etape tiga Sulawesi. Dengan berat hati kami meninggalkan
Bira, meski masih banyak tanya yang tersisa, masih banyak keindahan yang belum
dinikmati. Perjalanan harus terus berlanjut, keindahan Nusantara masih terus
memanggil para Risers lain di belahan Indonesia lainnya. Teruskan perjalanan
Datsun Risers Expedition..
Tim 1: Rere, Uga, Farmy (Makassar)
Tim 2: Anggarita, Hana, Sonya (Yogyakarta)
Tim 3: Adi, Sandy, Arif (Bandung)
Tim 4: Yuni, Vika, Aya (Surabaya)
Tim 5: William, Fajar, Hans (Jakarta)
Tim DRE etape 3: Risers, Media, VIP, Support Team
Terima kasih Datsun Risers Expedition
Terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Tuhan yang Maha Esa atas semua keindahan ini.
2. Keluarga kami yang telah mengizinkan untuk merelakan beberapa hari tak bersama mereka.
3. Datsun Indonesia yang telah membuat ekspedisi seru ini.
4. Tim Tequila yang telah memilih dan memberi kesempatan kepada
kami untuk ikut dalam ekspedisi ini.
5. Semua tim Datsun Risers Expedition yang telah
bekerja mempersiapkan segalanya, rela tidur/istirahat lebih sedikit dari kami untuk memberi pelayanan yang maksimal, thank you all team.
No comments:
Post a Comment