Tak ada yang istimewa menurutku dengan kota kecil Topoyo.
Kota kecil yang dahulunya adalah ibukota kecamatan dan sekitar delapan bulan
lalu menjadi ibukota kabupaten baru Mamuju tengah, hasil dari pemekaran
kabupaten Mamuju dan Mamuju utara. Delapan bulan tak cukup untuk membuat Topoyo
menjadi tampak seperti ibukota kabupaten baru lainnya, derap langkahnya seolah
tertahan.
Perjalanan dari Topoyo
ke Pasangkayu akan saya tempuh dengan jarak sekitar 276 KM. Menurut warga di
Topoyo jarak itu biasanya ditempuh kurang lebih 4 sampai 5 jam. Saya tidak
yakin, untuk menikmati perjalanan berarti tidak harus dengan perjalanan cepat,
belum lagi bila harus berhenti untuk
mengabadikan sebuah obyek.
Di sepanjang perjalanan menuju ke Pasangkayu mata akan terus
disajikan dengan pemandangan kebun kelapa sawit di kiri kanan jalan. Tampak
pula kesibukan warga mengangkut hasil panen kelapa sawit, ada yang menggunakan
motor, ada pula yang menggunakan gerobak dorong. Bonggol demi bonggol mereka
kumpulkan di tepi jalan, sementara beberapa mobil truk sudah siap mengangkut
buah sawit tersebut.
Dua kali saya hampir terjatuh karena melihat ular yang
tiba-tiba melintas. Pertama ular sanca sebesar lengan orang dewasa, kemudian
ular hitam entah jenis apa. Keduanya tiba-tiba saja muncul dari semak-semak di
tepi kebun sawit. Tak banyak yang bisa saya ceritakan di perjalanan dari
Topoyo ke Pasangkayu kecuali pemandangan selama perjalanan. Naik turun bukit,
kiri kanan kebun sawit serta di beberapa titik banyak penjual durian.
Tiba di Pasangkayu setelah menempuh 276 KM sekitar 1 siang, saya aneh dengan kota ini. Kesan pertama saat menginjakkan kaki di kota kecil ini adalah panas, gersang, jalannya lebar tapi tidak ada pohon pelindung. Saking panasnya, warga kota jarang melakukan aktifitas di luar ruangan, hanya beberapa kendaraan yang melintas di jalan trans Sulawesi.
Tiba di Pasangkayu setelah menempuh 276 KM sekitar 1 siang, saya aneh dengan kota ini. Kesan pertama saat menginjakkan kaki di kota kecil ini adalah panas, gersang, jalannya lebar tapi tidak ada pohon pelindung. Saking panasnya, warga kota jarang melakukan aktifitas di luar ruangan, hanya beberapa kendaraan yang melintas di jalan trans Sulawesi.
Sama seperti Topoyo, tidak ada yang menarik perhatianku dari
kota ini. Tidak ada teman, tidak ada kenalan dan tidak ada seseorang yang bisa
saya ajak berdiskusi dan mencari tau. Semua seakan lebih betah berdiam diri di
dalam rumah dari pada harus menantang panasnya kota.
Setelah makan siang di salah satu warung ikan bakar yang
lumayan ramai, saya mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke Donggala,
jaraknya sekitar 90 KM. Tepat di perbatasan kota, odo meter motor tepat
menunjukkan 1000,1 KM, yup sudah seribu KM yang saya berkendara sejak start
dari Gedung Miring Telkomsel Makassar hari Kamis tanggal 27 Februari.
Lepas dari kota Pasangkayu, di sekitar kampung Matrajaya
suasananya membawa saya seakan berada di Bali. Pura berdiri kokoh hampir di
seluruh pekarangan rumah warga. Matrajaya ini memang kawasan transmigrasi warga
dari pulau Bali saat zaman pemerintahan presiden Suharto.
Tiba di Salu Kaili saya melihat sebuah plang wisata pantai
SALU KAILI, karena penasaran saya membelokkan motor menuju jalan yang
ditunjuk plang tersebut. Hanya berjarak sekitar 50 meter sampailah saya di
sebuah pantai pasir hitam. Tampak beberapa pondok yang menjual aneka makanan
dan minuman bagi pengunjung. Saya menghabiskan sekitar setengah jam untuk
mereguk kopi hitam sachet sekaligus mengupdate beberapa foto dan informasi via twitter.
* * *
* * *
Sekitar pukul 4 sore saya sudah memasuki kota Donggala, kota
kecil di ujung barat teluk Palu, kota pelabuhan yang sejak dulu merupakan salah
satu pelabuhan paling sibuk di Indonesia. Bagi anda yang masih asing dengan
kota Donggala mungkin pernah membaca buku atau menonton film “Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka, seorang ulama dan budayawan tersohor di
jamannya. Di buku tersebut nama Donggala disebut sebagai persinggahan para
pelaut Nusantara dan Mancanegara. Kota Donggala pernah menjadi pusat
pemerintahan colonial Belanda pada abad ke-18 dan menjadikan pelabuhan Donggala
sebagai pelabuhan niaga dan penumpang. Sisa-sisa peninggalan kejayaan pelabuhan
Donggala masih bisa kita saksikan di kawasan Pasar Tua. Banyak bangunan-bangunan
tua yang masih dipertahankan keberadaannya. Beberapa memang sudah direnovasi
oleh si pemilik bangunan, tapi mereka tetap menjaga bentuk aslinya.
Tiba di kota Donggala setelah menempuh perjalanan panjang,
lama dan melelahkan membuat semua gadget jadi lowbatt, satu tempat yang
langsung saya cari adalah warung kopi. Selain untuk mengisi kembali
gadget-gadget yang lowbatt, sudah dua hari ini saya tidak merasakan racikan
kopi yang khas dari warkop di kota. Hampir dua jam saya berkeliling di kota
kecil ini, dan tak menemukan satu pun warung kopi yang biasanya menjadi tempat
nongkrong warga kota khususnya bapak-bapak. Handphone yang lowbatt juga membuat
saya tidak bisa mencari informasi dengan bertanya via twitter atau browsing di
google, saya hanya bisa berkeliling dari jalan-jalan besar hingga ke
lorong-lorong sempit kota Donggala, tetap tidak ketemu.
Biasanya di sekitar pasar, atau di sekitar pelabuhan atau di sekitar perkantoran ada warkop, biasanya… tapi semua itu terbantahkan, tidak ada satu pun warkop yang saya temui. Hingga hampir adzan magrib saya akhirnya singgah di sebuah toko klontong milik warga keturunan Tionghoa yang di terasnya ada beberapa meja dan kursi yang bersusun rapi, sambil membeli minuman kemasan saya meminta izin untuk charging handphone.
Biasanya di sekitar pasar, atau di sekitar pelabuhan atau di sekitar perkantoran ada warkop, biasanya… tapi semua itu terbantahkan, tidak ada satu pun warkop yang saya temui. Hingga hampir adzan magrib saya akhirnya singgah di sebuah toko klontong milik warga keturunan Tionghoa yang di terasnya ada beberapa meja dan kursi yang bersusun rapi, sambil membeli minuman kemasan saya meminta izin untuk charging handphone.
Pusat kota Donggala sebenarnya tidak terlalu luas, meski jalannya
banyak tapi tetap teratur membentuk blok-blok sehingga tidak membuat saya
tersesat. Tanpa guide pun saya bisa mengelilingi pusat kota Donggala sampai ke
Tanjung Karang dengan mengandalkan feeling.
Setelah magrib, masalah kedua pun tiba, penginapan. Karena tidak
ada teman di Donggala, saya pun memutuskan untuk mencari penginapan. Selain karena
handphone, kamera DSLR dan kamera GoPro yang lowbatt, saya juga membutuhkan
ruang privasi untuk beristirahat setelah melewati perjalanan panjang melelahkan
sejauh 366 KM dari kota Topoyo. Masalahnya, persis seperti kasus warung kopi
tadi, sangat susah menemukan penginapan di kota Donggala meski sudah
berkeliling sampai di sudut-sudut kota. Sepertinya, kota Donggala ini hanya
kota perlintasan, bukan kota transit. Ini karena orang-orang lebih memilih
langsung ke kota Palu yang jaraknya sekitar 35 KM dari pusat kota Donggala. Sempat
berpikir untuk lanjut mencari penginapan di kota Palu, tapi masih banyak
destinasi yang harus saya kunjungi di Donggala ini. Akhirnya dengan sedikit
pendekatan ke salah seorang warga, saya pun mendapat tumpangan gratis untuk
tidur mala mini di kota Donggala. Alhamdulillah..
*Lanjut baca "Donggala, Sepotong Surga Di Barat Palu"
*Lanjut baca "Donggala, Sepotong Surga Di Barat Palu"
Ditulis di Donggala, 5 Maret 2014, hari ke 7 ekspedisi "30 Hari Jelajah Celebes"
No comments:
Post a Comment