Minggu pagi, setelah melewati malam yang berat saat tersesat di bawah air terjun Indo Rennuang, kami pun terbangun untuk menikati apa yang kami perjuangkan semalam, indahnya air terjun Indo Rennuang. Setelah menyeduh kopi hitam, saya pun mengambil posisi di atas sebuah batu di tengah sungai, dari tempatku menyeruput kopi hangat tampak kota Polewali nun jauh di bawah sana, seakan iri dengan diriku yang bisa menikmati alamnya sementara dia harus terus menjalani rutinitas warga kota.
Setelah semua kami packing, saatnya untuk kembali ke kota
dan destinasi-destinasi selanjutnya. Di kota Polewali saya bertemu dengan
seorang warga, mereka sangat baik, tidak hanya membuatkan kopi panas dan
cemilannya, tapi juga menemani saya berdiskusi semua hal tentang Polewali dan
Mandar. Sebelumnya, mereka mengajak saya untuk makan siang bersama, kebetulan,
karena di air terjun tadi saya Cuma minum kopi secangkir dan mie instant
sebungkus.
Diskusi berlanjut, dari soal bahasa-bahasa yang ada di
Polewali sampai pelaut-pelaut Mandar dengan Sandeqnya yang perkasa. Saya baru
tahu, ternyata di Polewali sendiri ada beberapa bahasa selain bahasa Mandar
yang menjadi “Bahasa Nasionalnya”. Di sekitar air terjun Indo Rennuang (dusun
Buangin) ada bahasa yang disebut bahasa Pattae, konon adalah akulturasi antara
bahas Mandar dan bahasa yang sering digunakan oleh orang Mamasa. Bahasa Pattae
lebih banyak digunakan oleh penduduk Polewali yang tinggal di gunung, dan untuk
yang tinggal di pesisir menggunakan bahasa Mandar.
Sebenarnya belum puas berdiskusi dengan bapak (lupa Tanya
namanya), tapi waktu sudah menunjukkan pukul 13:30, itu berarti kami harus
melanjutkan perjalanan ke Tinambung dan Majene. Kembali ditemani oleh penggiat
sanggar MADATTE ART, sekarang jumlahnya lebih banyak, 6 orang. Sekalian mereka
akan bersilaturrahmi dengan teman-teman sanggar di Tinambung dan Majene.
Sebelum meninggalkan kota Polewali, mereka membawa saya ke salah satu lokasi
pembuatan minyak kelapa, sebenarnya tidak ada yang beda dengan pembuatan minyak
kelapa di tempat-tempat lain. Kelapa tua yang diparut kemudian santannya di
masak sampai menghasilkan minyak.
Perjalanan kami lanjutkan menuju ke Campalagian, sebuah
mesjid berdiri kokoh tepat di pinggir jalan yang ramai dikunjungi masyarakat
yang melintas. Ada juga beberapa mobil yang berhenti kemudian salah seorang
penumpangnya memasukkan lipatan uang kertas ke dalam celengan besar yang
disiapkan di tepi jalan. Itulah pemandangan setiap saat yang terjadi di Masjid
Lapeo. Mesjid tersebut memiliki banyak cerita mistik, mulai dari menaranya yang
konon saat didirikan, keempat tiang utama menara mengapung di atas air. Pernah
juga pada zaman penjajahan Belanda menara tersebut miring entah karena
disebabkan oleh apa, dan berkat doa Imam Lapeo menara tersebut tegak kembali.
Di sisi bagian depan masjid ada sebuah makam, yaitu makam imam pertama Masjid
Lapeo, di sinilah banyak warga yang singgah untuk berziarah.
Masjid Imam Lapeo
Destinasi selanjutnya adalah kampong Karama di kecamatan
Tinambung. Yang pertama kami datangi adalah sanggar seni Mandar SOSSORANG, di sanggar ini tampak
beberapa adik-adik SMU yang sedang belajar bermain CALONG. Calong adalah
sejenis alat musik pukul seperti kolintang, namun hanya terdiri dari 4 bilah,
bilahnya terdbuat dari bambu pattung yang biasa digunakan sebagai tiang layar
perahu sandeq. Untuk ruang resonansinya terbuat dari buah kelapa tua yang
dibuka hanya bagian kepala dan isinya (dagingnya). Di sanggar Sossorang ini
hampir tiap hari dipenuhi oleh anak-anak sekolah yang ingin belajr bermain
calong.
Tak jauh dari sanggar sossorang, hanya terpisah beberapa
rumah nampak seorang anak muda membuat miniatur perahu sandeq. Di kolong
rumahnya yang tidak terlalu luas digunakan untuk merangkai kayu demi kayu
sehingga menjadi miniatur sandeq yang beraneka macam besarnya.
Di belakang rumah pembuat miniatur sandeq terdengar keriuhan, tampaknya beberapa ibu-ibu dan anak perempuan sedang memilin tali kapal. Di sinilah salah satu sentra recycle tali kapal yang sudah tidak dipakai kemudian diolah kembali menjadi tali yang baru. Tali-tali tersebut biasanya untuk tali jangkar atau kebutuhan-kebutuhan lain di kapal.
Di belakang rumah pembuat miniatur sandeq terdengar keriuhan, tampaknya beberapa ibu-ibu dan anak perempuan sedang memilin tali kapal. Di sinilah salah satu sentra recycle tali kapal yang sudah tidak dipakai kemudian diolah kembali menjadi tali yang baru. Tali-tali tersebut biasanya untuk tali jangkar atau kebutuhan-kebutuhan lain di kapal.
Selanjutnya teman-teman mengajak saya untuk berkunjung ke
rumah salah seorang warga, masih di Karama tak jauh dari sanggar Sossorang. Di bawah
kolong rumah tampak seorang wanita paruh baya sedang menenun, dengan peralatan
tenun lengkap dan puluhan gulungan sutera warna warni di sampinngnya. Daerah Karama
di kecamatan Tinambung Polewali memang dikenal juga sebagai penghasil sarung
sutera tenun. Salah satu motif sarung sutera (Lipa Sabbe) yang sedang
dikerjakan sore itu adalah motif Maradiang, yang biasa dipakai oleh kaum
bangsawan. Karena keterbatasan waktu saya tidak sempat menggali lebih jauh
kenapa kerajinan tenun Lipa Sabbe ini bisa ada di Karama.
Menenun Lipa Sabbe dan membuat tali kapal adalah 2 pekerjaan
pokok bagi ibu-ibu dan perempuan muda di Karama. Pekerjaan tersebut sebagai
pengisi kekosongan saat mereka menunggu sang suami yang sedang melaut dengan
sandeq-nya.
Pukul 5 sore perjalanan kami lanjutkan meninggalkan kampung Karama
menuju ke kota Majene. Tak butuh waktu lama, kami sudah memasuki perbatasan
Kabupaten Majene. Dari batas Kabupaten terbilang hanya 6 KM lagi kita akan tiba
di pusat kota Majene. Sejenak berkeliling menikmati suasana sore kota Mamuju
yang berbukit dengan bagian pesisir landai yang minim. Jadi di sisi selatan
jalan raya hanya sedikit tanah landai dan langsung berbatasan dengan garis
pantai, sedangkan di bagian utara jalan raya adalah bukit-bukit. Sebenarnya dengan
posisi yang seperti ini adalah tempat yang sangat pas untuk menikmati sunset di
laut, tapi ternyata garis pantai kota Majene menghadap ke selatan.
Teman-teman dari Madatte Art Polewali mengajak saya ke
sebuah bukit kecil yang berbatasan dengan garis pantai, tempat tersebut adalah
kompleks makam Raja-raja Banggae. Lokasinya berada di atas bukit setinggi
kurang lebih 40 meter dari permukaan laut, di sisi selatannya adalah jurang dan
di bawah adalah pemukiman warga nelayan, sementara di laut yang tak jauh dari
pantai dipenuhi sandeq dengan ukuran bervariasi. Kompleks makam Raja-raja
Banggae terdapat 480 makam dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi dan
kebanyakan makam dibuat secara berundak atau bersusun. Umumnya makam-makam
tersebut menggunakan batu padat, batu karang dan balok papan kayu. Dari 480
makam di kompleks tersebut tidak satu pun makam yang punya nama, kita hanya
bisa tau bahwa makam-makam tersebut adalah makam para Raja dengan melihat
ukuran dan bentuknya tapi kita tidak bisa mendapat informasi bahwa itu adalah
makam siapa? Karena tidak adanya nama yang terukir di makam. Dari tempat kami berdiri
di kompleks makam Raja-raja Banggae bisa menyaksikan pantai Dato dengan
bentangan tebing batu yang berdiri kokoh di belakangnya.
Saat lapar dan lelah setelah melakukan perjalanan seharian,
akhirnya ada warga kota Majene yang menawarkan makan malam dan tumpangan
menginap malam ini sekaligus akan menjadi guide salam di Majene.
*Lanjut baca "Cerita Dari Tanah Mandar (3)"
Ditulis di Majene, 3 Maret 2014, hari ke 5 ekspedisi "30 Hari Jelajah Celebes"
*Lanjut baca "Cerita Dari Tanah Mandar (3)"
Ditulis di Majene, 3 Maret 2014, hari ke 5 ekspedisi "30 Hari Jelajah Celebes"
No comments:
Post a Comment