Melanjutkan cerita yang terputus di hari kedua. Berkunjung ke rumah salah satu maestro kecapi Mandar Bapak Nur atau lebih dikenal dengan panggilan Bapa’ Lia.
Malam itu saya beserta 6 orang teman dari komunitas penggiat seni budaya Mandar sengaja berkunjung ke rumah Bapa’ Lia karena setiap Jumat malam beliau memainkan kecapi di rumahnya. Setelah melewati lorong-lorong sempit yang gelap, sampailah kami di depan sebuah rumah mungil yang sederhana, di sinilah Bapa’ Lia tinggal bersama keluarganya. Sebuah rumah panggung bertangga kayu layaknya rumah orang-orang Mandar pada umumnya.
Tanpa canggung kami pun naik melewati 7 anak tangga, di dalam Nampak Bapa’ Lia sedang mempersiapkan “pentasnya”. Dengan setelan kemeja putih dan sarung serta peci hitam di kepala menambah kesan bersahaja Bapa’ Lia. Setelah melewati perkenalan singkat, pertunjukan Pamacco pun dimulai. Pamacco adalah seni permainan kecapi ala Mandar yang disertai dengan puji-pujian kepada penonton wanita. Jadi pada pertunjukan sebenarnya, Pamacco dimainkan di depan penonton wanita, nah puji-pujian atau bahasa kerennya “gombalan” pun dilancarkan sang pemain kecapi. Di tengah-tengah pertunjukan biasanya si penonton wanita akan memberikan saweran di atas wadah kappar (baki). Menurut Bapa’ Lia, pertunjukan Pamacco ini biasanya berlangsung 8 sampai 9 jam, dari jam 8 malam biasanya sampai jam 3 subuh. Yang unik dari kecapi dan pertunjukan Pamacco ini adalah hanya bisa dikeluarkan/diperlihatkan dan dipentaskan pada malam hari. Mengapa hanya malam hari? Bapa’ Lia hanya beralasan “itulah pesan orang tua”.
Puas berbagi cerita dengan Bapa’ Lia, perjalanan malam itu
kami lanjutkan ke jalan Garuda. Di
sebuah lapangan yang diterangi lampu pijar tampak beberapa anak muda sedang
bermain bulutangkis. Tapi ada yang aneh dengan permainan mereka, yaa.. raket
yang mereka pakai bukanlah raket yang biasa digunakan pada permainan
bulutangkis pada umumnya. Raketnya terbuat dari sebilah papan (batang kapuk)
dengan panjang sekitar 40 CM dan lebar sekitar 20 CM. Perbedaan lain adalah garis
lapangan, garis luarnya agak dipersemepit. Selebihnya, sama persis dengan
permainan bulutangkis, baik aturan atau pun property lain. Menurut Pak Ardi,
salah seorang warga di Jalan Garuda, permainan tersebut dinamakan REDI PAPAN,
redi adalah istilah buat raket papan. Permainan ini awalnya dimulai pada tahun
1994, walau beberapa kali hilang dan dimainkan kembali. Permainan redi papan
ternyata sudah terkenal dan dimainkan hamper di seluruh tanah Mandar bahkan
sampai ke Pinrang. Beberapa kali permainan redi papan diperlombakan baik antar
perkumpulan kecamatan bahkan antar kabupaten di Sulawesi Barat.
Perjalanan kami lanjutkan ke sekret MADATTE ART untuk
membahas kunjungan pada hari Sabtu. Teman-teman di Polewali rupanya sudah
menyiapkan semuanya termasuk list destinasi. Ada 25 destinasi yang ditawarkan,
tapi saya hanya memilih beberapa, karena pertimbangan waktu. Malam sabtu saya
habiskan di sekret MADATTE ART, beralaskan karpet yang dipinjamkan oleh seorang
penggiat komunitas ini.
Sabtu pagi pukul 8, perjalanan kami awali dengan berkunjung
ke sentra pembuatan penganan tradisional Polewali di kawasan Basseang di rumah
Mama Nua. Asap mengepul dari dapur, kayu bakar yang dipakai memasak mebuat
aroma khas dari asap tersebut. Di samping rumah tersedia beberapa bale-bale
bamboo yang memang sengaja disiapkan untuk pengerjaan penganan dan juga untuk
tamu-tamu yang dating. Kami disambut dengan ramah oleh keluarga Mama Nua,
dengan senyum manis kami dipersilakan masuk dab mengambil tempat. Waktu kami
datang, kebetulan masih dalam proses pembuatan adonan Jepa dan Apang, jadi
dengan leluasa saya bisa melihat langsung tahap demi tahap pembuatan penganan
tersebut.
Jepa, adalah salah satu penganan favorit warga Polewali,
biasanya disajikan saat pagi hari sebagai menu sarapan. Jepa terbuat dari ubi
kayu (ketela) yang diparut kemudian diperas, ampas hasil perasan inilah yang
digunakan untuk membuat jepa. Ampas sisa perasan tadi yang sudah dikeringkan
dan menjadi tepung kemudian dicampur dengan parutan kelapa yang setengah matang,
tidak tua dan juga tidak muda. Yang menarik, proses pemarutan kelapa masih
menggunakan cara tradisional, yaitu memakai parut serut. Sebuah batang kayu
kecil didesain sedemikian rupa sehingga bisa menjadi tempat duduk si pemarut,
di ujung kayu tersebut dipasang serutan yang terbuat dari besi pipih dan
berbentuk bulat, di tepi bulatan dibuat ruas-ruas kecil yang nantinya akan
menyerut kelapa. Keunggulan dari serutan kelapa ini adalah tekstur kelapa akan
lebih tebal tapi lembut (bukan kelapa tua).
Setelah tercampur dengan rata, adonan jepa tadi kemudian
dipanggang menggunakan wadah berbentuk wajan kecil yang terbuat dari tanah
liat. Karena dipanggang di atas bara kayu bakar, maka aroma jepa tersebut
tercium lebih khas. Tidak membutuhkan waktu lama, hanya hitungan detik jepa pun
siap dihidangkan. Ada dua jenis varian jepa, yang pertama adalah tanpa campuran
dan rasanya gurih tapi agak tawar, sedang varian yang kedua dengan menggunakan
irisan gula merah di tengah 2 lapis lembar jepa. Untuk varian kedua memang dikhususkan
untuk menjadi teman kopi atau the hangat saat sarapan pagi, sedang untuk varian
yang tawar bisa dikombinasikan dengan lauk seperti ikan bakar, ikan rebus dan
lain-lain. Sebagai penutup, mama Ina menyajikan apang yang masih panas karena
langsung dari panci kukus. Tekstur apangnya sangat lembut, karena dibuat dari
tepung beras dan gula tanpa menggunakan tepung tapioka, sebagai pengembang,
mama Ina menggunakan tuak manis, bukan pengembang buatan pabrik. Apang dan teh
hangat, sungguh perpaduan sarapan yang pas di pagi hari.
Jepa', kuliner khas Mandar
Destinasi kami berikutnya adalah ke pulau pasi putih dan
beberapa pulau di sekitarnya, namun karena ada sedikit kendala maka niat
tersebut kami batalkan. Kami pun sepakat untuk ke kawasan agrowisata Biru di
Kanang. Seperti yang kita tahu bahwa selain durian Palopo, durian lain yang
terkenal adalah durian Polewali. Nah, di Kanang inilah pusat durian Polewali.
Di kilo meter 5 sebelum memasuki kota Polewali dari arah Pinrang, di pinggir
jalan berjejer penjual durian, langsat dan rambutan. Dari tempat tersebut kami
mengikuti sebuah jalan menuju kearah utara menuju ke kawasan agrowisata Biru.
Perjalanan ditempuh kurang lebih sejauh 5 KM, di sisi kiri dan kanan jalan
tampak berdiri kokoh ratusan pohon durian, langsat dan rambutan.
Kawasan agrowisata biru sebenarnya mirip dengan Latuppa di
Palopo, di tengah rindangnya pohon-pohon durian, langsat, rambutan dan tanaman
peneduh lain ada sebuah sungai yang mengalir. Sungai kecil dengan bebatuan
besar yang memenuhi hampir semua bagian sungai. Jadi pengunjung bisa menikmati
durian sambil berendan di sungai.
Begitu lihat sungai dengan aliran air yang sangat jernih
membuat saya tidak sabar untuk menceburkan diri. Agar lebih enak berendam (biar
tidak dibilang norak) saya mencari bagian sungai di hilir yang sepi, sebenarnya
sih saya mau mencuci pakaian yang sudah 3 hari belum diganti. Bermodal sabun
cair saya mencuci celana panjang dan kaos kemudian dijemur di atas batu besar
yang seluruh bagian atasnya disinari matahari.
Puas memanjakan diri dengan beberapa biji durian sambil
berendam di sungai plus mencuci, kami beranjak menuju ke kota Polewali di
sekret MADATTE ART untuk mempersiapkan perlengkapan camping di air terjun Indo
Rennuang.
Kembali kami menikmati perjalanan dari agrowisata Biru,
memanjakan mata dengan pemandangan sawah yang padinya sudah mulai menguning.
Sepanjang mata memandang terlihat hamparan sawah dengan bukit-bukit kecil di
belakangnya yang seolah tak ingin terpisah dari bagian pemandangan indah ini,
Polewali benar-benar indah.
Setelah semua persiapan beres, pukul 16:30 sore saya bersama
3 teman dari sanggar MADATTE ART memulai perjalanan ke dusun Buangin tempat air
terjun Indo Rennuang berada. Setengah perjalanan memang mengasyikkan, kembali
kami disuguhi hamparan sawah dengan padi yang menguning. Setelah menempuh
perjalanan sekitar 8 KM, kami mulai memisahkan diri dari jalan raya beraspal
melewati jalan beton yang agak sempit. Kondisi jalan pun mulai menanjak dengan
kemiringan 5 sampai 45 derajat. Tiba di dusun Buangin ternyata kemiringan jalan
semakin ekstrim, suara motor meraung-raung. Lebih-lebih setelah berbelok dari
dari jalan beton menuju ke jalan sempit berbeton, dulunya jalan tersebut adalah
jalan setapak, tapi setelah mendapat bantuan pemerintah melalui program PNPM
Mandiri jalan setapak itu pun kemudian dibeton. Meski telah dibeton namun
tanjakan jalan yang kemiringannya sampai 55 derajat tetap membuat motor kami
“ngos-ngosan”. Jalan beton sempit dengan tanjakan ekstrim tersebut kami tempuh
sekitar 1 KM melewati kebun kakao milik warga. Sekitar 10 menit sampailah kami
di rumah terakhir sebelum bertemu dengan air terjun Indo Rennuang. Di kolong
rumah panggung inilah pengunjung (yang nekat mengendarai motornya) biasanya
memarkir kendaraan unruk selanjutanya melewati jalan setapak sungguhan menuju
ke air terjun.
Tepat pukul 18:00
kami sudah hampir sampai di camping area air terjun Indo Rennuang, tapi
ternyata ini adalah awal petualangan sesungguhnya. Teman yang jadi guide
ternyata agak lupa dengan jalur menuju camping area, jadilah kami tersesat di
sekitar air terjun. Satu setengah jam kami berputar-putar mencari jalan,
mendaki bahkan sampai memanjat tanah-tanah lepas tanpa pohon sebagai pegangan,
dengan kondisi gelap, untung saya bawa 1 headlamp. Jalur yang kami lalui sangat
ekstrim, memanjat tanah dan bebatuan yang rapuh dengan kemiringan sampai 70
derajat. Sungguh petualangan yang luar biasa malam itu.
Singkat cerita akhirnya kami menemukan kembali jalan yang
kami lewati saat turun ke dasar air terjun tadi. Salah bseorang teman yang
menyusul dari Polewali yang kebetulan tau pasti jalur ke air terjun pun datang
menjemput. Tibalah kami di puncak air terjun Indo Rennuang, camping ground yang
hanya berkapasitas 6 tenda (tenda 4 orang) sudah penuh dengan tenda adik-adik
dari SMK 2 Polewali yang kebetulan juga sedang camping. Kami pun memilih
camping ground di seberang sungai di tengah kebun kakao warga. Nyamuk yang
menjadi penghuni asli kebun kakao tak lagi kami hiraukan, yang kami butuh
adalah matras untuk merebahkan tubuh sekaligus meredakan sedikit rasa pegal di
seluruh tubuh. Karena kami hanya bawah 1 tenda yang muat untuk 4 orang, saya
pun memutuskan untuk menggantung hammock. Bersantai di atas hammock sambil
mengarahkan pandangan jauh ke bawah, kota Polewali dengan ribuan cahaya kerlap
kerlip. Jadilah malam yang indah di atas air terjun Indo Rennuang. Air terjun Indo Rennuang terletak di dusun Buangin, berada
di atas ketinggian 660 MDPL.
*Lanjut baca "Cerita Dari Tanah Mandar (2)"
*Lanjut baca "Cerita Dari Tanah Mandar (2)"
Ditulis di Polewali, 2 Maret 2014, Hari ke 4 ekspedisi "30 Hari Jelajah Celebes"
No comments:
Post a Comment