Sabtu, 3 Februari 2018, bersama 4 orang sahabat saya memulai
perjalanan menuju arah timur kota Makassar. Petualangan kali ini adalah buah
dari rasa penasaran setelah menyusuri aliran hulu sungai Maros (Marusu) via
Google Earth. Menurut analisa saya, berdasarkan pengamatan tanda-tanda alam di
Google Earth selama ini, di hulu sungai Maros banyak air terjun kecil. Ini
karena kontur alam bukit-bukit yang dilewati oleh sungai tersebut. Selain itu,
petualangan kali ini lebih kepada kerinduan menyatukan diri dengan alam, tidur
di belantara, menikmati nyanyian serangga dan alunan irama dedaunan yang ditiup
angin, menghirup aroma tanah basah dan menyeruput air sungai yang bening.
Perjalanan kami mulai dari Pasar Carangki, setelah beberapa
saat menunggu teman-teman mempersiapkan bawaan mereka. Iringan motor menyusuri
kanal air baku PDAM Kota Makassar yang berhulu di Bendung Lekopancing.
Perjalanan dengan roda dua memang sangat dianjurkan untuk rute kali ini. Dari Desa
Pucak, menyeberangi jembatan menuju ke Desa Masale untuk selanjutnya mengarah
ke timur, Desa Bontomanurung. Akses
jalan yang sudah lumayan bagus dibanding
empat tahun lalu saat terakhir kali melintas di jalur ini. Hampir 80%
jalan menuju ke Desa Bontomanurung sudah dibeton dengan lebar 4 meter. Ini
adalah salah satu keberhasilan pemerintah Kabupaten Maros untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas infrastruktur jalan di Kabupaten Maros. Satu jam lebih
berkendara, kami tiba di Dusun Bahagia, Desa Bontomanurung. Di rumah seorang
teman, kami beristirahat sejenak sekaligus berkoordinasi tentang jalur yang
akan kami lewati nanti.
Perjalanan ke dusun terakhir, tempat menitipkan motor
Setelah makan siang dan menghabiskan segelas kopi,
perjalanan kami lanjutkan. Kondisi jalan yang tidak berbeton lagi membuat kecepatan
motor sedikit melambat, kerikil dan batu sebesar kepala manusia silih berganti
bermunculan di tengah jalan, ditambah lagi kontur jalan menurun dan mendaki
yang bahkan sampai kemiringan 45 derajat. Di atas air terjun Pung Bunga, sebuah
jembatan gantung menjadi akses menuju ke kampung sebelah, perjalanan semakin
berat, kerikil-kerikil kecil tidak tampak lagi, sepertinya sudah tergerus air
hujan selama ini. Tinggal batu-batu gunung sebesar kepala manusia yang
posisinya sudah tidak beraturan lagi, ditambah tanah merah yang licin membuat
beberapa kali ban motor kami selip bahkan hampir terjatuh. Alhasil, jarak
tempuh yang hanya sekitar 1,5 kilometer, harus kami habiskan setengah jam
lebih.
Di rumah salah satu warga yang masih kerabat dengan salah
satu teman, kami memarkir motor dan sedikit berkoordinasi
sekaligus meminta izin. Perjalanan kami lanjutkn dengan berjalan kaki menuruni
bukit mengikuti jalan kampung, sesekali saya membuka aplikasi Outdoor
Navigation di smartphone untuk memastikan arah yang kami tuju sudah betul. Bila
ditarik garis lurus, jarak kami ke sungai sebenarnya hanya sekitar 200-300
meter dan bila dilihat di peta google sangat dekat. Tapi kondisi sesungguhnya
sangat jauh berbeda, lereng bukit yang curam, hutan dengan kanopi yang rapat
dan tidak ada jalur menuju ke bawah. Setelah berdiskusi, akhirnya kami
memutuskan untuk membuat jalur sendiri menuju ke sungai. Parang dan sangkur
menjadi senjata untuk membabat semak dan tanaman liar yang menghalangi jalan.
Kemiringan jalur membuat kami harus ekstra hati-hati, ditambah kondisi tanah
yang licin selepas hujan tadi, salah perhitungan sedikit bisa-bisa kami
meluncur bebas ke bawah.
Jam sudah menunjukkan pukul 17:30, sementara kami masih
“terperangkap” di tengah hutan dengan kontur yang sangat miring, gemuruh air
sungai sudah sangat jelas terdengar, di aplikasi Outdoor Navigation menunjukkan
posisi kami yang sudah tidak jauh dari sungai, tapi untuk sampai ke tepi sungai
ternyata sangat susah. Tebing-tebing batu yang curam dan berdiri tegak seperti
tembok tinggi yang membatasi tanah dengan bibir sungai. Kami masih
berputar-putar mencari jalan menuju ke sungai, sampai akhirnya kami
berkesimpulan bahwa hampir seluruh bibir sungai berkontur yang sama, kami tidak
mau mengambil resiko yang lebih berat, akhirnya kami sepakat untuk mencari
lokasi camp untuk malam ini.
Di sebuah titik dengan kemiringan tanah sekitar 30 derajat
dan dekat dengan sungai kecil yang menjadi sumber air, kami memutuskan untuk
membuat bivak tempat kami menginap malam malam ini. Kemiringan tanah 30 derajat
ini sudah sangat lumayan dibanding titik yang lain. Hanya sekitar 50 meter ke
bawah, sebenarnya adalah bibir sungai, namun tidak ada tempat camp yang bagus,
apalagi tebing batu yang tinggi tidak memungkinkan kami untuk sampai ke sungai.
Selembar tepal 3x4 kami bentangkan dari pohon ke pohon, hammock juga kami
gantung untuk tempat tidur, sementara yang lain mempersiapkan menu makan malam.
Makan malam yang nikmat, dengan menu tanpa mie instant
membuat kami sangat lahap, mungkin juga karena kondisi badan yang letih dan
kedinginan. Secangkir kopi dan beberapa cemilan menjadi teman untuk melanjutkan
bincang-bincang santai kami. Tenang sekali, gemuruh sungai di bawah kami tidak
sampai mendominasi suara-suara serangga dan hewan-hewan hutan. Karena kelelahan
satu persatu menuju ke hammock masing-masing, tidur sambil sedikit terjaga
dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Pukul 3 subuh, saat sedang asyik-asyiknya kami tidur, hujan
deras tiba-tiba turun, percikan air hujan dari segala arah membasahi bivak
kami, untunglah ada terpal yang sedikit membantu, meski bentuknya tak beraturan
lagi karena hantaman air hujan dan tiupan angin. Teman-teman yang tadi pulas di
hammock masing-masing pun berlarian menghindari basah yang pasti akan menambah
dingin. Berlima kami berkumpul di bawah terpal, karena perapian sudah mati,
kompor pun menjadi alternatif pengusir dingin.
**
Sisa air hujan masih menggantung di ujung dedaunan,
kepergiannya juga menyisakan tanah yang licin, membuat pijakan tak lagi stabil.
Pagi ini, secangkir kopi dan roti tawar menjadi menu sarapan, sekedar untuk
mengisi perut kosong sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah membereskan
perlengkapan, petualangan kami lanjutkan, mencari jalan terdekat dan tidak
terlalu susah menuju ke sungai. Jalur yang kami ambil adalah menuju ke arah
hulu, menurut petunjuk di Outdoor Navigation, tak jauh dari posisi kami ada
jembatan yang menghubungkan kedua sisi sungai. Jalur menuju ke jembatan kami
pilih, kemungkinan di sana ada jalan warga yang pasti lebih mudah dari pada
jalur kami. Tapi sekali lagi, perjalanan menuju ke jembatan tersebut sangat
sulit, bahkan kemiringan tanahnya semakin ekstrim. Sebuah sungai kecil memotong
jalur, kami sepakat untuk mengikutinya menuju ke tepi sungai. Dan untuk pertama
kali kami menginjakkan kaki di salah satu tepi sungai, di atas sebuah batu
besar yang aman dari aliran sungai yang sedang bergemuruh menumpahkan sisa air
hujan subuh tadi. Dari atas batu di tepi sungai kami sudah melihat penampakan
jembatan yang tak jauh di atas kami, sebuah jembatan gantung.
Dari tempat kami di tepi sungai, tak ada jalan menuju ke
jembatan, lagi-lagi tebing batu yang curam memutus jalur kami menuju jembatan,
membuka jalur lagi-lagi menjadi pilihan untuk sampai ke jembatan. Bila
perjalanan kemarin lumayan gampang karena hanya menurun, kali ini terasa sangat
berat karena harus menanjak untuk memutari batu besar yang menjadi pemisah kami
dengan jembatan. Di satu kesempatan, kami tersentak kaget bukan main ketika
seekor ular tiba-tiba memotong jalur perjalanan kami.
Kami tiba di jembatan gantung, rupanya jembatan ini adalah
jembatan penghubung dengan warga ke Dusun Bara, masih di Desa Bontomanurung.
Seandainya tidak keburu malam, mungkin kemarin kami akan menuju ke titik untuk
camp, sumber air yang banyak dan kontur tanah yang tidak terlalu miring.
Setelah makan siang, kami beristirahat sambil menikmati sajian alam,
teman-teman pun sibuk mencari spot foto yang bagus. Sayang sekali arus sungai
terlalu deras akibat hujan, saya membayangkan betapa serunya menelusuri sungai
yang penuh dengan batu-batu besar di sepanjang alirannya ini. Kami tak bisa
berbuat banyak, hanya meikmati aliran sungai dari atas, mungkin suatu hari
nanti di luar musim hujan kami akan kembali menuntaskan rasa penasaran.
Ditulis di Makassar, 5 Februari 2018
No comments:
Post a Comment