Sabtu, 18
November 2017, saya berkesempatan untuk menghadiri acara MAPPALILI’ ARAJANG di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan (Pangkep). Kecamatan Segeri adalah salah satu daerah di Kabupaten
Pangkep yang sampai saat ini masih menjaga tradisi MAPPALILI’ ARAJANG, sebuah rangkaian ritual menyambut dan
menentukan waktu musim tanam padi atau awal turun sawah, salah satu ritual
sakral di dalamnya adalah pencucian Arajang
(benda pusaka) berupa sebuah Rakkala
atau alat pembajak sawah, pusaka yang dianggap bertuah.
Bertempat di
Arajangnge, sebuah bangunan berupa
rumah panggung yang menjadi tempat disimpannya Arajang (Rakkala), sekaligus tempat diadakannya upacara-upacara
adat oleh Bissu.
Arajangnge terletak di Desa Bontomene, Kecamatan
Segeri. Seluruh rangkaian ritual Mappalili’
Arajang dimulai dari sini.
Mappalili’ digelar setiap tahun sebelum
musim tanam padi dimulai. Tahun 2017 ini, Mappalili’
diadakan pada tanggal 17-19 November, dimulai dengan penentuan hari dimulainya
rangkaian prosesi Mappalili’ oleh
para Bissu dipimpin oleh Bissu Puang Matoa (pemimpin tertinggi Bissu dalam struktur hirarki). Penentuan
hari biasanya berpatokan kepada bulan Hijriah atau penanggalan Islam dan
Lontara Kutika, yaitu lontara yang
menjelaskan hari baik dan buruk dalam keseharian orang Bugis. Waktu yang
dipilih untuk memulai ritual pertama yaitu Matteddu’
Arajang adalah asera ompo’na ulengnge,
(malam ke 9 setelah purnama), asera
temmate dan parallawali atau
seimbang antara yang lewat dan akan datang. Setelah melewati musyawarah
akhirnya ditentukan rangkaian ritual Mappalili’ pada tanggal 18 November 2017
yang bertepatan pada 29 Safar 1439H.
Bissu Puang Matoa Nani memimpin arak-arakan Arajang
Pada tanggal
29 Safar 1439H atau tanggal 18 November 2017 rangkaian ritual Mappalili’
dimulai dengan prosesi Matteddu’ Arajang.
Matteddu’ Arajang atau membangunkan
benda pusaka (rakkala) bukanlah
perkara mudah, ada ritual yang harus dilakukan oleh Bissu dan pemuka adat dipimpin oleh Bissu Puang Matoa. Setelah melalui prosesi untuk Matteddu’ dilanjutkan dengan Mappalesso’ atau membaringkan Arajang. Setelah Arajang dibaringkan, dilanjutkan dengan Mallekke wae dan Labbu lalle
yaitu mengambil air sungai dan batang pisang lalu dibawa ke Arajangnge. Batang pisang yang diambil
harus utuh. Air sungai dan batang pisang tersebut digunakan untuk ritual
memandikan Arajang sebelum diturunkan
ke sawah.
Arajang Rialu’, adalah prosesi
selanjutnya setelah Arajang
dimandikan. Prosesi ini dilaksanakan pada hari kedua atau hari puncak dari
rangkaian Mappalili Arajang.
Pagi-pagi sekali, seiring terbitnya matahari, Arajang diarak menuju sawah di Kampung Segeri. Arajang diusung dan diantar oleh 25 orang yang terdiri dari pembawa
Arajang dan pembawa bendera, kemudian diikuti oleh warga di belakang pengusung Arajang. Arajang akan diarak dalam proses yang khidmat dan sakral dari Arajangnge menuju Segeri untuk pelaksanaan
ritual Majjori’ dan selanjutnya akan
diarak ke pasar Segeri, sungai Segeri dan selanjutnya dibawa pulang kembali ke Arajangnge.
Majjori’, adalah ritual terakhir dari
prosesi Mappalili’. Majjori’ inilah puncak dari seluruh
rangkaian Mappalili’ Arajang, setelah
prosesi ritual Majjori’ maka kegiatan
turun ke sawah sudah bisa dimulai. Kepercayaan warga, bila ada yang
melaksanakan kegiatan musim tanam sebelum ritual Majjori’ atau seluruh rangkaian Mappalili’
ini selesai maka yang bersangkutan akan mengalami panen yang tidak memenuhi
harapan, padi yang ditanam akan mengalami fuso hingga gagal panen.
Setelah ritual
Majjori’, selanjutnya arak-arakan
pembawa Arajang akan kembali ke Arajangnge untuk kemudian disimpan dan
menunggu prosesi Mappalili’ tahun
depan. Arak-arakan akan melewati Pasar Segeri dan Sungai Segeri. Pasar segeri
disimbolkan sebagai urat nadi perekonomian, kemakmuran, kesejahteraan dan
kemampuan daya beli warga Segeri, diharapkan keberkahan juga akan senantiasa
meliputi kegiatan perekonomian di Pasar Segeri. Selanjutnya arak-arakan akan
melewati Sungai Segeri, sungai dan air disimbolkan sebagai urat nadi kehidupan
masyarakat Segeri, semoga keberadaannya senantiasa memberi keberkahan dan
dijauhkan dari malapetaka yang bisa ditimbulkannya.
Yang menarik,
dalam perjalanan kembali ke Arajangnge,
ada atraksi sijimpo-jimpo, yaitu
saling siram air. Rombongan arak-arakan serta warga yang dilalui oleh rombongan
akan terlibat saling siram air. Sijimpo-jimpo
adalah wujud suka cita warga yang telah melaksanakan Mappalili’ dan akan memulai musim tanam padi. Keceriaan, tawa dan
luapan kegembiraan terpancar dari wajah mereka, saling menyiram air meski tak
saling kenal, tidak ada batasan antara yang tua dan yang muda, yang kaya atau
yang miskin, perempuan dan laki-laki, bahkan pejabat pemerintahan, semua
terlibat aksi saling siram. Sijimpo-jimpo
juga adalah ungkapan syukur serta harapan semoga keberkahan selalu ada
mengiringi keseharian warga Segeri.
Antusias warga menyiapkan air untuk atraksi Sijimpo-jimpo
Setelah melewati
Sungai Segeri, arak-arakan langsung dibawa ke Arajangnge untuk kemudian disimpan ditempatnya. Kegiatan Sijimpo-jimpo tak berhenti, tetap dengan
penuh suka cita warga saling siram air, hingga tak nampak satu pun warga di
sekitar Arajangnge yang tidak basah.
Seluruh prosesi
ritual Mappalili’ telah dilaksanakan,
musim tanam padi pun sudah bisa dimulai, seluruh warga akan berduyung-duyung
menuju ke sawah dengan harapan keberkahan akan selalu ada disetiap usaha mereka
hingga panen nanti.
Penulis bersama Bissu Puang Matoa Nani
Mappalili’ Arajang, sebuah tradisi dan
kearifan lokal yang masih terjaga di tanah Segeri. Peran Bissu sebagai pengawal tradisi tak bisa terpinggirkan, merekalah
yang selalu ada di garda terdepan untuk setia menjaga tradisi warisan para
pendahulu.
Selamat dan doa kita haturkan kepada Bissu Puang Matoa Nani yang telah
dilantik menjadi Bissu Puang Matoa
pada Jumat, 17 November 2017, menggantikan Almarhum Puang Matoa Saidi yang meninggal pada 2011 lalu.Segeri, 19 November 2017
No comments:
Post a Comment