Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

Allangngiri' Kalompoang, Prosesi Pencucian Benda Pusaka Komunitas Adat Jari Minasa Tanralili, Maros

Allangngiri' Kalompoang, Prosesi Pencucian Benda Pusaka Komunitas Adat Jari Minasa Tanralili, Maros



A'langiri' Kalompoang adalah sebuah prosesi pencucian benda pusaka yang dikeramatkan, diwariskan turun-temurun dari para pendahulu. Di daerah Bugis dikenal dengan Matompang. 


Benda pusaka tersebut bukan hanya sebuah senjata seperti badik, tombak atau keris, tapi juga ada yang berupa pakaian, panji, bendera dan sebagainya.

Khusus untuk benda pusaka yang mengandung logam, biasanya dilangngiri' atau ditompang menggunakan air perasan jeruk nipis, di beberapa daerah menggunakan campuran air hujan dan perasan air jeruk. Sedangkan untuk benda pusaka selain logam biasanya diasapi wewangian dari dupa.

Pencucian pusaka dilakukan agar pusaka-pusaka peninggalan leluhur tidak rusak dan karat. Sebab jika rusak atau karat, maka ancaman kepunahan tak dapat dihindarkan. Sementara penegas identitas suatu budaya tidak terlepas dari keberadaan benda-benda pusaka yang sudah berumur tua. Dalam pusaka-pusaka tersebut tersimpan nilai-nilai sejarah yang harus dijaga agar dapat diteruskan oleh keturunan raja berikutnya.

Proses pencucian ini dimulai dengan ritual pengasapan badik diatas dupa. Setelah itu, badik yang sudah terhunus dibilas dengan menggunakan perasan jeruk nipis yang dipotong secara khusus lalu dibersihkan dengan menggunakan tangan, seperti gerakan mengurut. Setelah dibersihkan dengan jeruk nipis, benda pusaka tersebut lalu dibilas dengan air dan kembali diasapi dengan dupa sebelum dimasukkan ke dalam sarungnya.

Kalompoang yang dicuci pada ritual A'langiri' Kalompoang di Dusun Bontocinde ini adalah sebuah senjata sejenis badik panjang, yang oleh masyarakat disebut SUDANG. 



Sudang yang dicuci tersebut diberi gelar I Labba'. Adalah sebuah Kalompoang yang dibawa ke Tanralili oleh Yang Mulia Amas Madina, Batara Tangka'na Gowa, yang dikenal dengan Raja Usman, Somba ke 26.

Putra Yang Mulia Amas Madina, bernama Abu Bakar Karaeng Tadata' kemudian melahirkan putra bernama I Calla' Karaeng Borong, yang kemudian diangkat menjadi Raja Tanralili ke 6. Inilah yang menjadi leluhur komunitas Gowa di Maros, terkhusus di daerah Tanralili.

Di akhir prosesi A'langiri'' atau Matompang, ditutup dengan atraksi Angngaru'.

Awal mulanya, yang melakukan Angngaru' adalah seseorang yang ditunjuk (orang tertentu) sebagai pemegang bendera atau panji peperangan, ketika dalam peristiwa pasukan terdesak oleh lawan, maka Pangngaru' melakukan bate (bekas kaki) yang diperjelas, lalu menancapkan bendera di atas bate tersebut, sambil tangannya mencabut Badik (kawali) diiringi sumpah setia kepada pasukan dengan teriakan yang menggelegar untuk didengar oleh lawan, kawan ataupun Botinglangi (penghuni langit) dengan tekad dan janji bahwa, “dirinya tak akan mundur dari bate (batas kaki) yang telah menjadi penanda meski nyawa harus melayang.

Saat ini, Angngaru' lebih digunakan sebagai ungkapan kesetiaan, atau dukungan dari masyarakat kepada sang pemimpin. Sastra lisan Angngaru' tidak terlalu mementingkan persajakan namun lebih kepada kalimat pengakuan dan ketundukan kepada seseorang yang dianggap sebagai orang yang dihormati.


Narasumber: Badaruddin, S.Pd (Sekertaris Lembaga Adat Jari Minasa)

No comments:

Bottom Ad [Post Page]