Jumat, 20 Januari 2017, Dusun Betta-Betta di Kelurahan
Balocci Baru, Kecamatan Balocci, Pangkep terasa berbeda. Dusun kecil yang tak
jauh dari ibukota Kecamatan Balocci ini mendadak ramai, hari itu 45 peserta
“Bakti Sosial dan Pengabdian Masyarakat” (BSPM) akan memulai perjalanan menuju
Kampung Bonti setelah memarkirkan kendaraan di salah satu rumah warga.
Setelah melaksanakan shalat Jumat, beberapa peserta sudah
memulai perjalanan, mendaki bukit-bukit batu yang terjal dan sedikit tajam.
Sejatinya, Kampung Bonti yang menjadi tujuan perjalanan ini hanya berjarak
tempuh sekitar 2 kilometer, namun karena medannya yang agak sulit membuat waktu
tempuh bisa sampai 2 jam bahkan lebih.
Kampung Bonti berada di ketinggian 230-250 mdpl, sementara
dusun Betta-betta tempat start berada di
140 mdpl. Perbedaan ketinggian tersebut yang berbanding dengan jarak tempuh
membuat medan terasa agak berat. Kemiringan antara 30-50 derajat, menanjak dan
terus menanjak pasti akan menguras tenaga, apalagi bila perjalanan dilakukan di
siang hari yang panas.
Matahari sudah agak condong ke barat saat saya dan beberapa
teman berada di tengah-tengah perjalanan menuju Kampung Bonti, pohon-pohon yang
berdiri tegak di sepanjang jalan tidak lantas mengurangi sengatan matahari,
peluh pun semakin bercucuran, sesekali kami berhenti untuk sekedar mengatur
nafas. Hampir 2 jam saya menghabiskan waktu untuk sampai ke Kampung Bonti, itu
sudah lumayan cepat menurutku, apalagi untuk perjalanan di siang hari dan
dilakukan oleh orang-orang yang baru.
Menjelang pukul tiga sore, saya sudah berada di gerbang
Kampung Bonti, sebuah pagar kecil yang disusun dari bebatuan yang menjadi
pembatas antara Kampung Bonti dan kawasan Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung (TN BABUL). Dari gerbang ini, rumah-rumah panggung di
Kampung Bonti sudah terlihat sebagian, senyum akrab warga sudah menyambut kami,
apalagi sebagian sudah mengenal saya. Tujuan pertama kami adalah SDN 23 Bonti
yang menjadi posko kegiatan, disini saya menunggu teman-teman lain yang masih
dalam perjalanan, selanjutnya saya akan membagikan nama-nama kepala keluarga
yang rumahnya akan mereka tempati selama berada di Kampung Bonti. Ada delapan
rumah yang akan kami tempati, masing-masing rumah terdiri dari 5-6 orang
peserta, mereka akan tinggal disana layaknya anak dari tuan rumah, mengikuti
semua aktifitas mulai dari memasak, membersihkan rumah, sampai kegiatan di
sawah atau kebun.
Malam pertama, kami semua sibuk di rumah masing-masing,
berkenalan dan beradaptasi dengan seluruh penghuni rumah. Bukan hanya antara
peserta dan tuang rumah, bahkan sesama peserta pun masih ada yang belum saling
kenal. Saya beruntung, rumah yang saya tempati adalah rumah Pak Haris, Kepala
Kampung Bonti. Sejak pertama kali ke Kampung Bonti beberapa bulan lalu, Pak
Haris lah orang yang pertama saya kenal. Jadi tidak perlu banyak basa-basi
untuk memperkenalkan diri.
Sabtu subuh, alunan ayat-ayat suci di masjid membangunkan
saya untuk melaksanakan shalat subuh. Suasana subuh ini sangat indah, kokok
ayam jantan dan cuitan burung saling bersautan menyambut pagi, samar-samar
semburat cahaya matahari mulai muncul dari sela bukit-bukit batu di timur
kampung seiring semakin menipisnya kabut. Tak ingin melewatkan suasana pagi
yang indah, setelah shalat subuh saya berkeliling menyusuri pematang sawah,
sengaja tak memakai alas kaki agar bisa merasakan dinginnya butiran embun yang
masih menggantung di ujung-ujung rumput.
Puas berkeliling, saya kembali ke rumah, tampak si Bapak
sudah duduk manis di kursinya, di teras rumah, lengkap dengan segelas kopi
panas.
Pagi ini, sesuai jadwal, kegiatan difokuskan untuk mengikuti
aktifitas tuan rumah. Dari teras rumah saya bisa memantau kegiatan teman-teman.
Kebetulan rumah kami agak terpisah sekitar 200 meter dari rumah paling ujung di
kampung. Tempatnya juga agak tinggi, dikelilingi hamparan sawah. Sehingga, dari
teras rumah kami bisa melayangkan pandangan dengan bebas. Bersama bapak
menikmati kopi hangat, sambil menyaksikan rombongan teman-teman yang sedang
menuju ke sawah mengikuti kegiatan bapaknya.
Di rumah kami tidak ada kegiatan di pagi ini, bapak sedang
sakit. Mila, satu-satunya perempuan di rumah kami sudah sibuk mengambil alih
urusan dapur bersama ibu. Sementara saya dan yang lain membagi tugas, saya
memilih ke kebun di belakang rumah. Mengambil buah jeruk, mencabut singkong,
memetik daun singkong serta cabe merah untuk diolah jadi lauk maakan siang.
Matahari semakin meninggi, tak lama lagi waktu makan siang,
tanpa dikomandoi beberapa teman-teman menuju ke rumah kami. Bermacam alasan,
menengok bapak lah, silturahmi lah, sekedar jalan-jalan lah, tapi intinya
mereka ingin ikut makan siang bersama kami. Ibu memang selalu memasak banyak,
melebihkan jatah makan dari kami berlima, selain porsi makan kami yang
meningkat, kedatangan para “tamu tak diundang saat jam makan” ini alasannya.
Makan bersama memang selalu nikmat, tak peduli menunya apa, tapi kalau sudah
makan bersama dan lauknya menu rumahan seperti ini pasti lebih nikmat lagi.
Makan siang selesai, perut yang penuh dan cuaca yang
bersahabat membuat mata jadi berat, pilihan terbaik adalah memanjakan kepala di
atas bantal, tidur.
Tapi siang ini saya sudah menyusun jadwal untuk membenahi
beberapa fasilitas umum di Kampung, kami pun berbondong-bondong menuju ke pos
ronda dekat masjid sebagai titik kumpul. Melalui pengeras suara saya
berkeliling memanggil teman-teman di rumah masing-masing yang hampir saja
terlena dengan tidur siang.
Semua laki-laki sudah berkumpul, sementara yang perempuan
sebagian sedang menyiapkan makanan untuk acara selamatan malam ini, sebagian
lagi sudah sibuk membersihkan masjid. Setelah sedikit arahan dari saya, semua
pun larut dalam kesibukan, ada yang menggali parit, ada yang mengangkut batu
dari sungai, ada yang menyusun batu. Kegiatan kami siang ini adalah fokus
membenahi jalan kampung di samping masjid yang selalu becek dan licin saat
musim hujan. Selain itu pemasangan papan nama masjid, pembenahan pagar masjid
serta pengecatan beberapa bagian dinding masjid. Beberapa warga tampak ikut
membantu kami, melebur bersama kami, semua sibuk sesekali diselingi candaan
membuat pekerjaan terasa agak ringan.
Pekerjaan belum semuanya selesai saat sore hari, saya
putuskan untuk menyisakan pekerjaan untuk dilanjutkan besok pagi. Saya mengajak
teman-teman ke arah timur kampung, sebuah sungai kecil dengan batu-batu yang
besar, di sebuah bendungan kecil kami menghabiskan sore dengan berendam, nikmat
sekali.
Sabtu malam, seperti malam sebelumnya, di halaman sekolah
sudah kami siapkan area untuk nonton bareng. Di malam sebelumnya, film “Laskar
Pelangi” sengaja kami putarkan buat adik-adik dan warga Kampung Bonti. Film yang
sarat akan pelajaran dan semangat untuk tetap belajar dan menggantungkan
cita-cita meski di tengah keterbatasan, sama dengan yang kini dirasakan oleh
adik-adik di Kampung Bonti.
Dengan proyektor dan layar dari vinyl bekas serta pengeras
suara, jadilah nonton bareng ini serasa nonton layar tancap. Penonton duduk
lesehan di lapangan depan sekolah, sesekali terdengar tawa canda dari penonton,
warga dan peserta BSPM berbaur menikmati film “Petualangan Sherina” malam ini.
Kelar menonton film “Petualangan Sherina”, acara kami
lanjutkan dengan resepsi kecil-kecilan dan syukuran atas hari jadi JJS yang
kelima. Sebuah tumpeng dari nasi kuning yang sudah kami siapkan, lengkap dengan
lauk yang sederhana, serta dua buah kue dan lilin-lilin kecil. Tak ada
kemewahan dalam perayaan hari jadi JJS kali ini, makanan yang sederhana, pun
dengan kostum yang kami pakai, semua serba sederhana. Di hari jadi kelima ini kami
ingin membaur dengan warga di pelosok, tak ingin terlihat menonjol, tak mau
bermewah-mewah. Meski sederhana, tapi doa dan harapan kami pasti tak
sesederhana perayaan ini.
Semua telah berkumpul, sedikit larut dalam suasana khidmat. Saya
bercerita sedikit tentang sejarah JJS, jatuh bangunnya JJS, JJS yang dari tidak
ada apa-apanya hingga seperti saat ini. Di akhir cerita, saya mengajak
teman-teman berdoa bersama, doa yang mereka panjatkan sendiri.
Minggu pagi, setelah sarapan, saya kembali mengumpulkan
teman-teman khususnya yang laki-laki untuk melanjutkan pekerjaan yang belum
selesai kemarin. Pembenahan pagar masjid, pengecatan dinding masjid dan beberapa
pekerjaan lain. Sementara di halaman sekolah, teman-teman medis sudah siap
memeriksa tekanan darah, gula, kolesterol dan asam urat warga, serta sedikit
penyuluhan kesehatan.
Masih di halaman sekolah, teman-teman relawan Pustaka Alam
juga sudah memulai kegiatan bermain dan belajar bersama adik-adik SDN Bonti. Setelah
bermain, mereka akan jalan-jalan sambil membawa buku bacaan yang mereka ambil
dari perpustakaan Pustaka Alam di samping sekolah mereka.
Siang hari, semua kegiatan telah selesai. Teman-teman
relawan Pustaka Alam bersama adik-adik SD baru pulang dari kegiatan edutrip di
bendungan, sementara yang lain sudah istirahat di rumah masing-masing menunggu
makan siang. Ingin makan siang terakhir ini jadi istimewa, saya mengajak
teman-teman serumah untuk makan siang di dangau sawah yang tak jauh dari rumah.
Sebuah rumah sawah kecil di pinggir sungai, dikelilingi padi yang menghijau,
sementara di belakangnya berdiri bukit-bukit batu yang seolah membentengi
Kampung Bonti. Nikmat sekali makan siang kali ini, sayur daun kacang hijau
serta rebung yang kami petik sendiri, ditambah aroma lumpur sawah serta bunyi
gemericik air sungai, entah apa hubungannya? Tapi itu semua menambah nafsu
makan kami..
Pukul 15:30, setelah packing, semua peserta berkumpul di
rumah kami untuk pamit ke Bapak Kepala Kampung. Moment yang pastinya sangat
kami benci! Semua akan berakhir.
Setelah foto bersama, saya mewakili teman-teman peserta BSPM
berpamitan kepada Bapak dan Ibu, tampak sekali raut sedih di wajah mereka, seolah
ingin menahan kami untuk tinggal lebih lama lagi. Satu persatu kami bersalaman
dengan Bapak dan Ibu, selanjutnya menuju ke rumah peserta lain untuk maksud
yang sama. Bayangkan, ada delapan rumah/keluarga yang harus kami lewati untuk
pamit, mereka bukan orang tua dan keluarga sedarah, tapi ikatan emosional yang
terbangun dalam tiga hari ini hampir menyamai semua itu. Memang singkat, hanya
tiga hari, tapi berpisah terasa sangat berat.
Di jembatan kecil di ujung Kampung, warga berkumpul melepas
kepergian kami. Hanya sedikit senyuman yang terlihat, senyuman yang seolah
dipaksakan. Hanya mata yang terlihat berkaca dan sebuah kalimat lirih yang “Baik-baik
di jalan, jangan lupa kembali ke Bonti”
Terima kasih untuk semua Bapak dan Ibu kami, terima kasih
untuk semua warga Kampung Bonti, bersama kalian kami dapat pelajaran berharga
tentang hidup dan kehidupan. Tentang “keterbatasan yang tak seharusnya membuat
kita terbatas”
No comments:
Post a Comment